Siapa yang tak kenal sastrawan Ajip Rosidi. Jenius sastra Indonesia
yang sukses menulis lebih dari 110 judul buku, baik antologi cerpen,
novel, drama, kritik sastra maupun terjemahan. Ia yang tak makan bangku
sekolah dipinang bangsa Jepang menjadi pengajar mata kuliah Bahasa
Indonesia di salah satu universitas di sana. Dan berbagai prestasi serta
penghargaan lain dalam sastra yang membikin kita iri, yang notabene
telah karir kepenulisan itu ia mulai ketika masih bercelana pendek.
Dalam autobiografi ‘Hidup Tanpa Ijazah’ (Pustaka Jaya, 2008), Ajip
Rosidi, menulis autobiografi setebal 1.364 halaman. Sebuah pekerjaan
besar mengenali diri sendiri, alih-alih memberikan wasiat kepada
pembacanya, karena memang autobiografi itu lebih banyak menceritakan
perjalanan hidupnya yang berkelindan dengan dunia sastra. Yang perlu
dicatat pula bahwasanya pada akhir halaman autobiografi itu berisi
halaman tanya jawab pribadi Ajip Rosidi, yang seakan-akan Ajip Rosidi
telah menemukan dirinya dalam sebuah pemahaman kehidupan ini.
Ajip Rosidi telah melakoni proses hidup yang panjang, berinteraksi
dengan pelbagai karakter, membaca kehidupan dalam rentang hidupnya itu
dan juga pernah bermukim lama di Jepang, akhirnya merasakan bahwa ia
adalah seorang Islam. Dan terangnya ia seorang Islam formalis yang
berbeda sama sekali dengan Hasan Mustapa, ikon sufisme lokal yang selama
awal kepengarangannya memberikan daya tarik dalam hidup dan pencapaian
karya sastranya.

Kerja kreatif bagi Ajip Rosidi tidak hanya menuju pada satu gairah
katarsis saja. Puncak emosi yang lenyap dan hilang pada suatu ruang dan
zaman atau berhenti pada satu ujung jalan. Tidak, selama manusia
bernapas dan bernyawa, ia akan terus melajukan pikir dan nalar
kreatifnya untuk mencari makna yang lebih dalam lagi, tidak sekedar
‘katarsis insidental’. Ajip Rosidi berhasil menemukan katarsis dengan K
besar ketika ia menemukan Islam. Islam bagi Ajip bukanlah sebuah
penjara, tapi mengatasi segala hal yang menjadi kabut dalam perjalanan
hidupnya. Islam memberikan dia arah lebih jelas dalam menghidupkan kerja
kepengarangannya dan juga muamalah-nya. Dan saya yakin, kehidupan
sastrawan tak melulu ber-sastra. Sebaliknya Islam, memberikan ruang yang
karib bagi Ajip Rosidi untuk tinggal di dalam ruang untuk memberikan
karya-karya terbaiknya.
Pun ketika bicara tentang nasionalisme Ajip Rosidi makin tandas
menyatakan sikapnya terhadap negara ini. Bukan sebuah kepura-puraan
palsu atau sebuah penjilatan terhadap hegemoni kekuasaan. Tidak, Ajip
Rosidi memberikan gambaran yang telak tentang bangkrut dan bobroknya
Indonesia. Hal ini saya kira jelas karena rasa cinta dan kepeduliaannya
tentang Indonesia itu sendiri. Dalam lembar-lembar halaman depan, banyak
kisah bagaimana ia berinteraksi dengan pelbagai karakter, entah itu
negarawan, pejabat besar, dan sastrawan yang ia tampilkan tanpa tedeng
aling-aling; di antaranya penuh kepalsuan dan kebobrokan. Pada realita
masa belakangan, Ajip makin menegaskan bahwa Indonesia adalah akumulasi
keputusan-keputusan legislatif yang salah, yang tidak pro rakyat. Dan ia
juga memberikan wacana tentang penyelamatan Indonesia dalam beberapa
aspeknya.
Hal ini patut dipuji. Memang diakui Ajip tinggal di Jepang dan
menjadi pekerja di sana, yang kadang dipersepsikan negatif, dirinya
lebih nyaman dengan rumput tetangga yang lebih hijau. Namun,
senyatanya hal itu tidak sepenuhnya benar. Di sana tidak serta merta ia
meninggalkan jiwa Indonesia. Ia justru menaruh lebih perhatiannya kepada
Indonesia. Di Jepang ia bukan sekedar menjadi pekerja atau pengajar
untuk menggendutkan perut sendiri. Ia juga membantu dan mengenalkan
sastra Indonesia pada bangsa Jepang. Usaha ini patut dipuji karena
jarang orang Indonesia yang bisa melakukan seperti hal itu. Ajip dekat
dengan dunia akademisi dan birokrasi. Nilai ini jelas membuat Ajip
mempunyai nilai tawar.
Lalu apa arti nasionalisme bagi Ajip. Secara ekplisit, kita bisa
memahami seorang Ajip adalah seorang sastrawan Indonesia dan bukan
sastrawan Jepang. Ajip melihat Indonesia sebagai pesakitan karena ia
sadar dan melihat jelas dimana posisi Indonesia sekarang. Buku-buku yang
telah ia tulis antara lain, yang berkaitan dengan nasionalisme, Anak Tanahair (1986), pelbagai penulisan cerita rakyat : Lutung Kasarung, Ciung Wanara, cerita wayang, esai sastra dan minat baca Indonesia, biografi, dan banyak tulisan lain. Ia pun juga memberikan hadiah Rancage, kepada sastrawan yang berhikmat pada sastra lokal.
Ketika akhirnya ia menuliskan autobiografi, yang banyak menyinggung
tokoh-tokoh besar, ia menulisnya dengan elegan tanpa membuatnya harus
menjadi opurtunis. Sebuah karya semacam itu layak dihargai. Ketika
seseorang menjadi besar, ia sebenarnya sangat dekat dengan kekuasaan.
Dan kekuasaan selalu punya efek untuk membuat lidah manusia keseleo dan
enggan berkata jujur. Sebaliknya Ajip menulis autobiografi yang terang
kepada kita, dimana posisi dia sekarang. Dia memberikan teladan bagi
penulis di belakangnya. Bahwa seorang yang dikenal jenius sastra itu,
adalah seorang pekerja keras. Ia menemukan kedamaian dan arti perjuangan
dalam nasionalisme yang tidak sempit dan juga dalam Islam yang tidak
melulu simbolisme. Dari hal ini kita bisa melihat pada diri Ajip Rosidi,
sastra dan Islam mempunyai interaksi yang kuat. Dan keduanya bukanlah
menghilangkan atau memenjara yang lainnya. Keduanya saling bersinergi.
Seperti yang dituturkan oleh Maman S Mahayana, dalam Panjimas
(Februari 2003), Ajip Rosidi, bagi kita, laksana sebuah teladan,
bagaimana konsep iqra (baca!), ayat pertama yang diperintahkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW, diejawantahkan pada kehidupan keseharian.
Membaca bagi tokoh yang selalu bangun pukul empat pagi ini, adalah
kebutuhan rohani, dan menulis merupakan bentuk implementasi dri yang
telah dibaca. Menulis juga tidak lain adalah kesaksian atas kehidupan
manusia dan kemanusiaan. Maka ketika ia merasa agak mandek membaca dan
mulai gagap menulis, ia akan diterjang kegelisahan yang luar biasa.
Mungkin ini juga bisa menjadi sebuah alasan bagi saya untuk membantah
tuduhan tetangga sebelah, yang mengatakan bahwa Islam memenjara daya
kreatif, khususnya kerja sastra. Atau agar hati saya bisa bisa menolak
provokasi yang menyuruh meninggalkan Islam alih-alih serta merta
menyetujui pendapat hanya Islam sufisme yang bisa mendekati estetika.
Sungguh saya tak ragu, Ajip Rosidi telah berhasil menghidupkan sastra
dan agama dalam dirinya. Semoga.
Sumber http://atmokanjeng.wordpress.com/2013/06/24/ajip-rosidi-islam-dan-nasionalisme/
0 comments:
Post a Comment