Saturday, 22 June 2013

Esai: Ajip Rosidi, Islam, dan Nasionalisme oleh Andri Saptono di Solopos (24/06/2013)

Siapa yang tak kenal sastrawan Ajip Rosidi. Jenius sastra Indonesia yang sukses menulis lebih dari 110 judul buku, baik antologi cerpen, novel, drama, kritik sastra maupun terjemahan. Ia yang tak makan bangku sekolah dipinang bangsa Jepang menjadi pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia di salah satu universitas di sana. Dan berbagai prestasi serta penghargaan lain dalam sastra yang membikin kita iri, yang notabene telah karir kepenulisan itu ia mulai ketika masih bercelana pendek.

Dalam autobiografi ‘Hidup Tanpa Ijazah’ (Pustaka Jaya, 2008), Ajip Rosidi, menulis autobiografi setebal 1.364 halaman. Sebuah pekerjaan besar mengenali diri sendiri, alih-alih memberikan wasiat kepada pembacanya, karena memang autobiografi itu lebih banyak menceritakan perjalanan hidupnya yang berkelindan dengan dunia sastra. Yang perlu dicatat pula bahwasanya pada akhir halaman autobiografi itu berisi halaman tanya jawab pribadi Ajip Rosidi, yang seakan-akan Ajip Rosidi telah menemukan dirinya dalam sebuah pemahaman kehidupan ini.

Ajip Rosidi telah melakoni proses hidup yang panjang, berinteraksi dengan pelbagai karakter, membaca kehidupan dalam rentang hidupnya itu dan juga pernah bermukim lama di Jepang, akhirnya merasakan bahwa ia adalah seorang Islam. Dan terangnya ia seorang Islam formalis yang berbeda sama sekali dengan Hasan Mustapa, ikon sufisme lokal yang selama awal kepengarangannya memberikan daya tarik dalam hidup dan pencapaian karya sastranya.

ajip_rosidi1Selama ini bagi sebuah kerja kepengarangan yang dinyalakan dengan proses kreatif, Islam pasti akan selalu diprasangkakan sebagai penjara dan sebuah kurungan bagi imaginasi dan kerja kreatif. Namun, sejatinya hal itu salah dan hendak ditegaskan oleh Ajip Rosidi. Ketika ia berada pada puncak hidupnya dan kematangan berpikir dalam memandang, justru Ajip banyak merumuskan siapa dirinya dalam bingkai  Islam. Namun Islam manakah yang dilakoni Ajip Rosidi? Dan seperti yang dipaparkan Ajip, ia memang tidak menjalani Islam seperti Hasan Mustapa itu. Hasan Mustapa memandang Nabi Muhammad adalah sebuah simbol, sebagai penerima wahyu seperti Adam. Lain bagi Ajip Rosidi, Nabi Muhammad adalah rasul pembawa syariat dan hukum bagi manusia (hal. 1220-1221). Bahkan Ajip Rosidi pernah berhaji dengan pelukis Affandi, untuk menyempurnakan Rukun Islam yang kelima itu, yang juga sengaja mereka lakukan tidak lewat Indonesia. (hal. 650, 679).

Kerja kreatif bagi Ajip Rosidi tidak hanya menuju pada satu gairah katarsis saja. Puncak emosi yang lenyap dan hilang pada suatu ruang dan zaman atau berhenti pada satu ujung jalan. Tidak, selama manusia bernapas dan bernyawa, ia akan terus melajukan pikir dan nalar kreatifnya untuk mencari makna yang lebih dalam lagi, tidak sekedar ‘katarsis insidental’. Ajip Rosidi berhasil menemukan katarsis dengan K besar ketika ia menemukan Islam. Islam bagi Ajip bukanlah sebuah penjara, tapi mengatasi segala hal yang menjadi kabut dalam perjalanan hidupnya. Islam memberikan dia arah lebih jelas dalam menghidupkan kerja kepengarangannya dan juga muamalah-nya. Dan saya yakin, kehidupan sastrawan tak melulu ber-sastra. Sebaliknya Islam, memberikan ruang yang karib bagi Ajip Rosidi untuk tinggal di dalam ruang  untuk memberikan karya-karya terbaiknya.

Pun ketika bicara tentang nasionalisme Ajip Rosidi makin tandas menyatakan sikapnya terhadap negara ini. Bukan sebuah kepura-puraan palsu atau sebuah penjilatan terhadap hegemoni kekuasaan. Tidak, Ajip Rosidi memberikan gambaran yang telak tentang bangkrut dan bobroknya Indonesia. Hal ini saya kira jelas karena rasa cinta dan kepeduliaannya tentang Indonesia itu sendiri. Dalam lembar-lembar halaman depan, banyak kisah bagaimana ia berinteraksi dengan pelbagai karakter, entah itu negarawan, pejabat besar, dan sastrawan yang ia tampilkan tanpa tedeng aling-aling; di antaranya penuh kepalsuan dan kebobrokan. Pada realita masa belakangan, Ajip makin menegaskan bahwa Indonesia adalah akumulasi keputusan-keputusan legislatif yang salah, yang tidak pro rakyat. Dan ia juga memberikan wacana tentang penyelamatan Indonesia dalam beberapa aspeknya.

Hal ini patut dipuji. Memang diakui Ajip tinggal di Jepang dan menjadi pekerja di sana, yang kadang dipersepsikan negatif, dirinya lebih nyaman dengan rumput tetangga yang lebih hijau. Namun, senyatanya hal itu tidak sepenuhnya benar. Di sana tidak serta merta ia meninggalkan jiwa Indonesia. Ia justru menaruh lebih perhatiannya kepada Indonesia. Di Jepang ia bukan sekedar menjadi pekerja atau pengajar untuk menggendutkan perut sendiri. Ia juga membantu dan mengenalkan sastra Indonesia pada bangsa Jepang.  Usaha ini patut dipuji karena jarang orang Indonesia yang bisa melakukan seperti hal itu. Ajip dekat dengan dunia akademisi dan birokrasi. Nilai ini jelas membuat Ajip mempunyai nilai tawar.

Lalu apa arti nasionalisme bagi Ajip. Secara ekplisit, kita bisa memahami seorang Ajip adalah seorang sastrawan Indonesia dan bukan sastrawan Jepang. Ajip melihat Indonesia sebagai pesakitan karena ia sadar dan melihat jelas dimana posisi Indonesia sekarang. Buku-buku yang telah ia tulis antara lain, yang berkaitan dengan nasionalisme, Anak Tanahair (1986), pelbagai penulisan cerita rakyat : Lutung Kasarung, Ciung Wanara, cerita wayang, esai sastra dan minat baca Indonesia, biografi, dan banyak tulisan lain. Ia pun juga memberikan hadiah Rancage, kepada sastrawan yang berhikmat pada sastra lokal.

Ketika akhirnya ia menuliskan autobiografi, yang banyak menyinggung tokoh-tokoh besar, ia menulisnya dengan elegan tanpa membuatnya harus menjadi opurtunis. Sebuah karya semacam itu layak dihargai. Ketika seseorang menjadi besar, ia sebenarnya sangat dekat dengan kekuasaan. Dan kekuasaan selalu punya efek untuk membuat lidah manusia keseleo dan enggan berkata jujur. Sebaliknya Ajip menulis autobiografi yang terang kepada kita, dimana posisi dia sekarang. Dia memberikan teladan bagi penulis di belakangnya. Bahwa seorang yang dikenal jenius sastra itu, adalah seorang pekerja keras. Ia menemukan kedamaian dan arti perjuangan dalam nasionalisme yang tidak sempit dan juga dalam Islam yang tidak melulu simbolisme. Dari hal ini kita bisa melihat pada diri Ajip Rosidi, sastra dan Islam mempunyai interaksi yang kuat. Dan keduanya bukanlah menghilangkan atau memenjara yang lainnya. Keduanya saling bersinergi.

Seperti yang dituturkan oleh Maman S Mahayana, dalam Panjimas (Februari 2003), Ajip Rosidi, bagi kita, laksana sebuah teladan, bagaimana konsep iqra (baca!), ayat pertama yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, diejawantahkan pada kehidupan keseharian. Membaca bagi tokoh yang selalu bangun pukul empat pagi ini, adalah kebutuhan rohani, dan menulis merupakan bentuk implementasi dri yang telah dibaca. Menulis juga tidak lain adalah kesaksian atas kehidupan manusia dan kemanusiaan. Maka ketika ia merasa agak mandek membaca dan mulai gagap menulis, ia akan diterjang kegelisahan yang luar biasa.

Mungkin ini juga bisa menjadi sebuah alasan bagi saya untuk membantah tuduhan tetangga sebelah, yang mengatakan bahwa Islam memenjara daya kreatif, khususnya kerja sastra. Atau agar hati saya bisa bisa menolak provokasi yang menyuruh meninggalkan Islam alih-alih serta merta menyetujui pendapat hanya Islam sufisme yang bisa mendekati estetika. Sungguh saya tak ragu, Ajip Rosidi telah berhasil menghidupkan sastra dan agama dalam dirinya. Semoga.

Sumber http://atmokanjeng.wordpress.com/2013/06/24/ajip-rosidi-islam-dan-nasionalisme/

0 comments:

Post a Comment