KOTAK PENELUSURAN, SILAKAN KETIK

Sunday 8 May 2016

Novel Lost in Lawu - Andri Saptono

Promo Novel Lost in Lawu

TEMP
Alhamdulillah, pagi ini menjadi hari yang cerah dan indah meskipun langit masih mendung.
Ya, benar saja akhirnya novel saya yang ke sekian ini terbit juga. Inilah Lost in Lawu, yang diterbitkan oleh penerbit Prenadamedia.com di divisi Kaki Langit
ini penampakannya kawan..
Untitled
Sinopsis Lost in Lawu
Seperti peribahasa kuno, asam di gunung garam di laut bertemu di belanga. Takdir yang telah mempertemukan para peziarah Lawu dalam satu kemelut dahsyat. Bayu, Sanyoto dan Marzuki, dua orang pendaki amatir bertemu dengan Galih, seorang introvert dari kota yang individualistis. Namun justru kedahsyatan alam liar gunung Lawu telah merekatkan hubungan mereka bertiga hingga menjadi simpul integritas yang mengubah sosok introvert Galih Adiyasa berhasil menemukan jati dirinya.
Ketika Bayu dan kawan-kawan ingin sejenak menikmati pesona matahari terbit di puncak lawu, siapa sangka mereka telah menyeret diri mereka dalam kancah pertempuran dua orang para pendekar masa silam yang sedang berlaga di puncak Argo Dumilah. Lurah Sungkono, seorang abdi masyarakat di desa Tegal Winangun hanya ingin mempertahankan desanya dari terkaman para pengusaha kota yang rakus, yang akhirnya harus berhadapan dengan Sukriya, saudara perguruannya sendiri, yang tamak dengan harta dan kekuasaan.
Tak dinyana Bayu dan kawan-kawan harus berhadapan dengan para penjahat kejam yang ingin membunuh lurah Sungkono. Terjadilah kemelut di puncak Lawu.
Bukan itu saja, kisah perjalanan Galih menemukan jati dirinya di puncak Lawu adalah sebuah ziarah diri yang terdalam. Ia pergi ke puncak gunung Lawu untuk menguji dirinya sejauh mana ia bisa bertahan dalam sengitnya tekanan. Alam liar adalah lawan tangguh untuk pengujian ini. Namun, musuh utamanya justru dirinya sendiri dan masa lalu. Melepaskan diri dari masa lalu adalah sebuah perjalanan menuju tapal batas kehidupan. Merenungi makna kehidupan dan mengejawantahkan arti diri dalam kebajikan.
Galih telah sampai kepada pengertian tentang pribadinya sendiri di tengah alam semesta ini. Dan perjalanan untuk sampai ke titik itu tidaklah mudah. Ia harus menguji dirinya dengan dashyatnya tantangan puncak Lawu yang penuh aroma mistis. Bahkan, konon puncak Lawu adalah tempat terbaik untuk menguji seseorang untuk memahami hakikat dirinya. Salah satu tanda itu dia akan mendapatkan bunga edelweis ungu yang langka.
Mampukah Galih mendapatkan edelweis ungu yang mistis itu?
Novel Lost In Lawu sukses membuat saya bergadang. Membaca novel ini seperti menonton film suspense thriller adventure yang menggiurkan, saya begitu terseret ke dalam petualangan seru di Gunung Lawu. Seperti ikut mendaki gunung bersama tokohnya, dan menghadapi banyak rintangan, hujan badai, binatang liar, bahkan seseorang yang mengancam nyawa kita. Pikiran saya terus memburu jawaban, bergonta-ganti Poin of View Tokoh, membuat saya makin penasaran. Hingga jawabannya terkuak. Siapkah kau menerima jawabannya?
—NIKOTOPIA, Penulis Astrolo(ve)gi & Scriptwriter Masalembo Net TV.
..Melintasi lereng Lawu adalah perjalanan rutin saya setiap kali pulang ke Magetan. Kabut yang menurun dan dingin yang menusuk di Cemoro Sewu mengiringi tapak jejak perjalanan. Menghirup udara Lawu adalah menghirup kenangan yang membuat saya rindu untuk selalu kembali dan kembali lagi. Saya belum pernah mencapai Argo Dumilah, apalagi Argo Dumuling, tapi membaca kisah ini membuat saya merasa berhasil mencapai puncak Lawu. Menapaki alur yang indah, sekaligus mencekam dan penuh tantangan. Lost in Lawu bukan kisah pendakian biasa, namun juga kisah pengkhianatan, ketamakan, persahabatan, sekaligus ziarah kehidupan. Kisah-kisah yang hanya akan didapat oleh mereka, yang benar-benar melakukan perjalanan dalam kesejatian.
(Ary Yulistiana- penulis novel Sonnenblume &100th dragonfly)
Oya, untuk yang mau order daripada penasaran, sila mampir ke website ini:
http://www.prenadamedia.com/produk.html?id=Lost_In_Lawu

baca selengkapnya »

Monday 27 April 2015

Ekonomi Kreatif Melawan Bank Plecit

oleh: Andri Saptono

-Solopos, Senin, 27 April 2015
 
Desa dan Bank Plecit
Istilah bank plecit, atau lintah darat dulu lebih masyhur dikenal daripada debt collector. Bank plecit ini biasa berkeliling di desa-desa, menawari pinjaman dengan cepat, dan tanpa administrasi yang ribet –cukup dengan jamiman fotocopy KTP saja. Penampilan mereka pun nyaris stereotif sampai sekarang. Bersepeda motor dan berjaket kulit, bertas slempang, sambil membawa buku kecil tagihan kepada para nasabahnya. Biasanya mereka lebih suka menyamperi ibu-ibu yang bergerombol entah sedang petan kutu atau sekedar nangga. Begitulah realita yang terjadi di desa saya, dan beberapa desa lainnya di Karanganyar.

Desa menjadi tujuan para bank plecit beroperasi. Seperti desa saya, sasaran utama mereka adalah kaum ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah. Bank plecit ini menawarkan pinjaman uang dengan cara tetapi dengan bunga yang mencekik leher. Ibu-ibu yang merasa butuh dana atau kesulitan keuangan dengan mudah menerima pinjaman yang berbunga tinggi ini dan selebihnya masuk menjadi nasabah para setan kredit itu.
 
Pertumbuhan koperasi simpan pinjam baik yang berbadan hukum resmi atau abal-abal semakin banyak di Jawa khususnya. Terutama bank plecit hanya ingin mencari keuntungan dan membuat uangnya beranak pinak. Mungkin ada pertanyaan mengapa bank plecit memilih desa. Kenyataan di lapangan, penghuni desa adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan tingkat ekonomi yang seringkali kesingsal dengan perubahan jaman. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para Bank Plecit untuk memperbanyak nasabah alias menjerat korbannya.  

Bukan Simbiose Mutualisme
Jelas relasi antara bank plecit dan nasabah bukanlah sama menguntungkan (simbiose mutualisme), apalagi dengan keyakinan hendak menolong. Sebaliknya, mereka itu menjerat nasabah dengan gaya hidup suka mengutang. Mereka tak peduli dengan persoalan tolong menolong orang yang kesusahan. Bahkan, tak jarang bank plecit mengancam hingga menganiaya nasabahnya jika ada kredit macet. Ibu-ibu yang terjerat hutang ini dan seringkali hutang mereka tanpa konfirmasi kepada suami, alih-alih menyalakan keributan di rumah. Bahkan, sebab hutang kepada rentenir inilah hampir terjadi perceraian karena suami kaget ternyata istrinya berhutang di belakang, dan jumlahnya tak sedikit. Solo Pos pernah mencatat fenomena ini di sebuah desa Jambon, Gamping, Sleman yang memasang pengumuman “BANK PLECIT DILARANG MASUK DI KAMPUNG INI” karena dampak negatif masuknya Bank Plecit ke desa tersebut (12/4/2012).
 
Kronik lintah darat
Dalam buku sekolah dan prosa pun sering disinggung tentang lintah darat. Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, yang mengetengahkan karakter Datuk Maringgih sebagai seorang rentenir licik. Pun profesi mereka umumnya dibenci dan dianggap sebagai sebuah pengganggu ketentraman dalam masyarakat. Kehadiran mereka seakan hendak memangsa orang yang lengah di antara kita. Barangkali seperti srigala yang hendak menjerat mangsanya.

Tapi, paradigma sekarang bank plecit dan lintah darat mengalami pleonasme menjadi debt colector. Hal ini barangkali seperti pelacur menjadi PSK. Akibatnya, bahkan pengumuman lowongan debt colector (bank plecit) sering kali muncul di iklan koran dan ikut bersaing di bursa lowongan kerja. Apalagi jika ditengok dengan kacamata agama, jelas bank plecit ini haram hukumnya. Selain mereka berpraktek riba juga mencekik leher para nasabah.
 
Masyarakat yang awalnya antipati dengan bank plecit seolah dibisiki bahwa sekarang bank plecit adalah koperasi simpan pinjam yang memudahkan kita berhutang. Bahwa sekarang tidak ada riba, tetapi bunga atau uang administrasi. Jadi, persoalan dosa dan agama adalah ucapan para ustadz atau kyai saja yang berkarakter jumud dan kolot.
 
Menumbuhkan Ekonomi Kreatif Di Desa
Kita yakin bahwa bank plecit apapun namanya adalah persoalan di masyarakat kita. Masyarakat lebih membutuhkan pertolongan secara terstruktur dan sistematis bukan pertolongan instan yang malah mencelakakan, seperti misalnya berhutang pada rentenir. Dari persoalan inilah kita hendaknya bergerak untuk berkarya menumbuhkan ekonomi kreatif di desa. Paradigma desa adalah tempat terbelakang dan ndesa, harus diubah menjadi desa yang peka jaman dan berkarya kreatif. Contoh yang termudah adalah misalnya penempatan bantuan tidak hanya pada sarana dan prasarana infrastruktur desa. Kenyataannya pembangunan itu tidak semuanya teralokasikan dengan tepat atau bisa membuat perekonomian langsung bertumbuh dengan cepat. Andaikan misalnya bantuan digunakan untuk usaha bersama, atau membuat home industri atau misalnya lokakarya di masyarakat desa, akan lebih optimal penempatan bantuan tersebut.
 
Sering terjadi bantuan dari PNPM hanya untuk memperbagus jalan, atau membuat gapura, atau membuat megah Pos Kamling yang malah tidak berfungsi apapun. Atau pengajuan proposal kepada misalnya partai atau badan usaha tetapi hanya untuk membeli perabot bala pecah di kampung. Akan lebih optimal bila dibelikan kambing kemudian dikelola menjadi peternakan kambing fermentasi atau misalnya untuk usaha ibu-ibu di tempat tersebut.

Namun, nampaknya kesadaran semacam ini belum bertumbuh di sebagian desa, terutama di karanganyar. Karena itulah sering terlihat pembangunan infrastruktur yang maju tetapi pemikiran mereka masih pemikiran ndesa yang masih kesingsal dengan perubahan jaman.
 
Akhirnya, bukan hanya sekedar larangan Bank Plecit dilarang masuk kampung saja, tetapi menumbuhkan semangat kreatif dan mengurangi gaya hidup berhutang kepada para rentenir itu adalah sikap yang lebih utama. Apalagi jika sudah sampai pada kesadaran sesungguhnya riba itu berbeda dengan jual beli yang berprinsip mendapat keuntungan dari pihak lain. Hutang menghutang adalah perkara sosial-ekonomi yang tak bisa dihindari. Namun akan lebih bijak jika bisa menghindari dari bank plecit.
 
Industri kreatif tidak hanya berpusat di kota tetapi juga bisa digerakkan di desa. Tentu juga dengan menempatkan SDM masyarakat desa yang positif. Unsur komunal dan sikap gotong royong mereka bisa menjadi energi untuk membangun ekonomi kreatif tersebut. Dan walhasil, masyarakat akan lebih maju perekonomiannya dan tidak kesingsal dengan jaman yang cepat bergerak ini.

Pemerintah pun tidak boleh lupa untuk memberikan program padat karya kepada penduduk desa. Jika selama ini hanya terfokus pada BLSM, maka jangka panjangnya hanya akan membentuk manusia Indonesia yang bermental pengemis. Melulu ingin disubsidi. Padahal juga uang yang diberikan, kadang tidak digunakan untuk kebutuhan yang tepat. Misalnya untuk ganti hape baru, atau malah melunasi hutang ke bank plecit yang sudah menunggu dengan setia.
 
Memang menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang juga diwacanakan oleh pemerintahan Jokowi tidak bisa serta merta. Tidak bisa hanya sekedar mendorong dan menggembar-gemborkan wacana ekonomi kerayaktan di media-media mainstream atau medsos. Akan lebih baik pemerintah memberikan ‘kapak dan cangkul’ kepada penduduk desa untuk bekerja daripada memberikan BLSM yang tidak membuat penduduk desa lebih produktif dalam bekerja.
 
Wallahu A’lam bishshowab

baca selengkapnya »

Saturday 25 April 2015

Cerpen: Dia yang Menanti Suami di Stasiun Ini

Karya Andri Saptono*
-Solopos, April 2015

Perempuan itu selalu datang ke peron stasiun ini setiap senja. Sudah sebulan ini aku menandai perempuan itu selalu datang sendirian ke tempat ini. Dari penampilannya tentulah ia dari kalangan menengah ke atas. Pakaiannya terlihat mahal dan berkelas. Mobilnya pun sedan BMW keluaran Eropa. Tetapi, kedatangannya setiap hari ke stasiun ini membuatnya terlihat aneh dan mencurigakan.
Ah, memang melihat orang cantik yang berperilaku aneh memang menarik. Barangkali ia adalah seorang seniwati. Kau tahu seniman atau seniwati seringkali melakukan sesuatu yang nyleneh bagi sebagian orang, tetapi dari perspektif lain ia ternyata sedang membuat mahakarya besar. Atau barangkali ia seorang peneliti yang sedang mengadakan penelitian di stasisun ini. Tapi, penelitian apa yang dilakukan di stasiun ini? Apakah ada yang istimewa dengan stasiun ini?
Mungkin saja. Stasiun ini banyak diabadikan dalam karya sastra. Aku sering membacanya dalam koran minggu terbitan nasional itu. Atau kudengar juga pernah nama stasiun ini dijadikan sebuah buku novel.
Oh, kau belum tahu nama stasiun kereta ini. Namanya stasiun Biru. Jangan kau tanya mengapa stasiun ini diberi nama Biru. Kulihat juga cat tembok di sini tak semua berwarna biru. Beberapa tanda prosedur komplek yang penting juga berwarna merah. Dan semua tampak wajar seperti stasiun lainnya di Indonesia ini. Tapi mungkin dahulu orang yang menamakannya suka dengan kata Biru. Jadi ia menyebut itu dan begitulah semua terjadi. Dan seperti kata Shakspeare, apalah arti sebuah nama. Aku lebih cocok dengan ungkapan yang terakhir ini.
Kembali ke perempuan itu. Senja ini ia datang seperti biasa. Kupikir aku ingin bertanya sesuatu padanya. Mungkin ada yang bisa kubantu. Maksudku, aku merasa ia seperti mencari sesuatu. Dan bukankah sesama manusia sebagai makluk sosial harus selalu membantu yang lain. Jujur, aku pun tak bertendesi apapun.
Kali ini kudekati ia. Ia sedang menekuri hapenya. Melihat inbok di layar android yang tak lekas dijawabnya.
“Permisi mbak… saya lihat mbak sebulan ini setiap hari ke sini…ehm, apakah mbak ini sedang mencari sesuatu? Mungkin ada yang bisa saya bantu.”
Perempuan itu menoleh. Wajahnya memang cantik. Tapi aku mengalihkan perhatianku dari wajahnya yang rupawan itu. Dan aku sempat bersirobok dengan matanya yang menatapku. Astaga, mata itu tidak seperti melihatku. Mata itu kosong.
“Barangkali ada yang bisa saya bantu. Saya petugas kebersihan di sini.”
Perempuan itu masih diam. Aku masih menunggu jawaban darinya. Dan memang terasa segan jika berbicara dengan seseorang tapi tak ditanggapi. Sepertinya aku yang jadi pengganggu di sini.
“Apakah saya menganggu anda? Maafkan saya kalau begitu. Saya akan pergi.”
Aku berdiri. Tapi aku masih menunggu. Dan memang perempuan itu tak berkata apapun. Aku pun pergi dari tempat itu. Kulirik dari sudut mataku, perempuan itu masih bergeming di tempatnya. Orang-orang di sekitarku tampak berkasak kusuk tentangku.
“Wah, berani juga kau, Man?” si Sudrun tertawa cengegesan. “Kuacungi jempol kalau kamu berhasil dapat nomernya.”
“Jempolmu abuh itu. Tadi aku itu cuma nanya dia. Aku kasihan soalnya. Dia tampak seperti orang bingung. Sudah sebulan ini selalu datang ke peron ini.”
“Ah, masak sih orang seperi dia bingung. Lihat saja orang cantik begitu, tampaknya kelas menengah ke atas. Bukan potongan orang ndeso seperti kita. Alasan kamu saja kan?”
“Tenan! Aku tidak bohong. Mungkin saja dia butuh bantuan.”
Aku teringat tentang mata kosong itu. Hendak kukatakan pada Sudrun. Tapi kurasa tak ada gunanya. Dia lebih suka berpikir ngeres kalau melihat perempuan cantik sendirian.
Selepas magrib perempuan itu pulang seperti biasa. Dalam hati, entah mengapa aku berharap dia akan kembali besok pagi. Aku akan bertanya lagi padanya. Semoga dia mau menjawab sepatah dua patah kata padaku. Ya, barangkali aku bisa membantu jika dia memang butuh bantuan.
Senja itu datang lagi bersama perempuan itu. Atau memang senja tak akan lengkap tanpa perempuan itu di stasiun ini. Ah, aku merasa jadi sentimentil. Kuamati dirinya ia duduk di peron. Membuka hape yang sama. Kali ini ia memakai kerudung hitam, kacamata hitam dan baju terusan yang besar. Ia nampak seperti perempuan religius dengan pakaian begitu. Kubayangkan bagaimana jika ia memakai cadar.
Imaginasiku pergi ke mana-mana. Tapi buru-buru kupenggal. Kembali kuberanikan datang kepadanya lagi. Tak kupedulikan omongan rekan-rekan kerjaku. Biar saja mereka berkata seenaknya.
“Sore mbak…” sapaku.
Perempuan itu masih menekuri hape. Ah, rasanya tak nyaman berbasa-basi dan sok akrab seperti ini. Tapi sudah kutekadkan untuk membuat perempuan itu bicara.
“Boleh saya duduk di sebelah anda?” tanyaku.
Dia masih diam. Aku mencoba memasang senyum. Barangkali ada yang bisa cair dengan senyuman. Tapi sialnya, perempuan itu masih dingin.
Kutekadkan untuk duduk meskipun tak dipersilakan.
“Saya tahu saya mungkin tak sopan ingin tahu urusan orang lain. Tapi kalau anda butuh bantuan atau sedang mencari sesuatu, barangkali saya bisa membantu masalah anda.”
Perempuan itu masih diam. Dia hanya menghela napas. Dan pandangan itu masih kosong.
“Aduh, saya seperti ngomong sama reco ya? Kalau anda tidak suka, lebih baik katakan saja, mbak. Daripada saya dicuekin begini, sakitnya tuh di sini,” kataku melucu menirukan Cita Citata.
Tapi perempuan itu bergeming.
“Baiklah, saya perkenalkan nama saya kalau anda tidak keberatan. Nama saya Paiman. Saya tukang bersih-bersih di sini. Saya sudah berkeluarga, mbak. Jadi anda tak usah khawatir dengan saya. Saya tidak berniat buruk sama orang asing sekalipun. Takut kuwalat mbak. Eh, mbak paham kuwalat kan?”
Si perempuan itu tetap diam.
“Kuwalat itu bahasa Jawa mbak. Semacam karma gitulah. Kalau kita berbuat jahat, pasti kita akan dapat balasan yang jahat juga dari orang lain.”
Aku pun terus bercerita. Apa saja yang bisa kuomongkan.
“Istri saya di rumah jualan pecel, mbak. Dulu jualan juga di stasiun ini. Tapi itu dulu. Sekarang sudah dilarang jualan di stasiun. Yang boleh jualan hanya swalayan di pojok itu saja, mbak. Ya, orang kecil gimana lagi. Sudah jatahnya digusur.”
Dia menatap pada tempat yang jauh menembusi bangunan di depannya. Tak dihiraukannya suara orang lalu lalang di sekitarku. Dan sialnya juga diriku.
“Istri saya itu memang jago bikin pecel lho, mbak. Saya senang setiap hari dikasih lauk pecel. Tapi, anak saya yang bungsu cepat bosan. Dia suka ayam goreng. terpengaruh sama film Upin Ipin itu lho mbak. Mbak tahu kan Ipin Upin…”
Perempuan itu tak menggubris. Kesabaranku hampir habis rasanya.
“Anak saya ada tiga mbak. Dua masih di SD. Sedang yang kecil masih berumur satu tahun. Masih trantanan jalan sama mboknya. Wah, senang sekali kalau saya pulang. Si kecil itu memang menghibur sekali, mbak. Kalau mbak sendiri sudah berkeluarga?”
Perempuan itu sungguh beku. Aku pun tetap dableg. Ini seperti bicara dengan patung saja.
“Baiklah, kalau anda itu tidak mau diganggu saya. Tapi begini mbak, saya mau cerita. Ini cerita terakhir saya dan tolong anda dengarkan. Begini, sudah sebulan ini anda datang ke sini setiap hari. Karena itulah saya penasaran. Daripada mati penasaran, saya pun berniat bertanya pada sampeyan biar saya tak penasaran lagi. Lantas tiga hari saya menyapa mbak itu. Tapi mbak malah tidak menggubris saya.”
Perempuan itu sekilas menatapku. Tapi masih saja perempuan membisu. Aku pun jadi kesal.
“Oalah mbak. Saya percaya anda itu tidak bisu kok. Mbok, ya ngomong to!”
Astaga, perempuan itu tetap bisu. Aku hampir mengumpat padanya. Tapi aku boleh menyerah.
“Baiklah, ini terakhir kali. Kalau anda tak sudi menjawab ya sudah. Pesan saya, tolong hargailah orang yang bicara kepada anda. Beri penghormatan satu atau dua patah kata. Itu cukup kok. Wassalam…”
Aku bangkit berdiri hendak berlalu.
“Tunggu Pak.”
Aku lega. “Oalah, ngomong gitu aja kok lama mbak…”
“Maaf…”
“Baiklah, silakan ngomong ke saya apa saja. Saya akan jadi pendengar yang baik kok.”
“Terima kasih…”
Aku duduk. Menunggunya bicara.
“Silakan…”
“Bentar pak…”
Perempuan itu membuka inbok. “Barangkali ada pesan dari suami saya.”
“Memangnya kemana suami anda?”
“Dia pergi ke Jakarta. Naik kereta Argo Bisnis. Saya ke sini mau menjemputnya.”
“Oh, makanya anda menunggu di sini. Tapi kok setiap hari anda ke sini. Kapan berangkatnya mbak?”
“Tanggal 28 Februari.”
“Tanggal 28.” Aku berpikir. “Itu kan sudah lama. Sekarang ini tanggal 30 maret.”
“Entahlah, saya tidak tahu mengapa ia tidak mengabari saya kalau pulang. Ini juga tidak ada sms.”
Aku mengernyitkan dahi. Bukankah Argo Bisnis yang berangkat tanggal 28 Februari itu adalah yang kereta mengalami kecelakaan naas itu. Jangan-jangan, perempuan ini menunggu suaminya yang sudah mati. Ya, semua penumpang kereta itu meninggal karena kereta terjatuh ke jurang. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
“Saya menunggunya di sini ingin menjemputnya. Tapi, mengapa dia tak mengabari saya kalau sudah pulang.”
Air mataku menggenang. Aku tak tahu apa yang akan kukatakan. Sepertinya sebuah palu besar menghantam dadaku hingga sesak.
“Anda harusnya tak menunggunya lagi, mbak. Suami anda tidak akan kembali.”
Perempuan itu menatapku tajam. Tatapannya penuh kebencian.
“Mengapa dia tidak kembali? Bukankah kereta dari Jakarta akan datang sebentar lagi.”
Belum satu patah kata kujawab. Sebuah tangan menarikku kuat. Kulihat dua orang laki-laki di belakangku.
“Sebaiknya anda pergi.”
Aku bangkit. Kupikir mereka saudara perempuan itu dan tidak suka melihatku dekat padanya.
Dua lelaki itu mengajak perempaun itu pergi. Dan si perempuan itu tak menolak. Sekilas ia melihatku dengan tatapan tak senang.
Aku tak tahu apakah dia kembali atau tidak ke stasiun ini. Kuharap ini terakhir kali aku bertemu dengannya. Tatap matanya yang penuh kesedihan itu mengguncang hatiku. Aku pasti tak akan sanggup untuk bertatapan kedua kalinya sejak saat ini.

*Novelis dan cerpenis.
Bergiat di Pakagula Sastra Karanganyar.

Link: https://atmokanjeng.wordpress.com/2015/04/25/dia-yang-menanti-suami-di-stasiun-ini/

baca selengkapnya »

Friday 24 April 2015

Seniman Karbitan

oleh Aris Setyawan *
Lanskap kampus ISI Yogyakarta dipotret dari ketinggian (foto: http://uia.isi.ac.id/wp-content/uploads/2012/04/isi-jogja-from-the-sky-2.jpg)

GADIS berusia jelang 20 tahun ini adalah mahasiswi seni grafis. Malam itu ia tengah sibuk mencukil hardboard, kemudian mencetaknya ke kertas. Inilah yang dilakukannya setiap malam, mencukil dan mencetak, demi memenuhi syarat tugas dari jurusannya. Setelah menyelesaikan tugasnya ia akan tidur beberapa jam, sampai pagi datang dan ia harus bergegas bangun untuk mengikuti kuliah pagi di kampus.

Begitulah rutinitas mahasiswi angkatan 2014 ini setiap hari. Ibarat Sisifus yang dihukum dewa Yunani untuk mendorong batu ke atas gunung hanya untuk melihat batu itu menggelinding lagi ke bawah dan ia harus mendorongnya lagi.

Si Gadis pencukil tidak sendirian. Ia adalah satu dari banyak mahasiswa/i angkatan 2014 yang tengah malih-rupa menjadi Sisifus. Atau lebih tepatnya dimalih-rupakan oleh dewa. Dewa tersebut tidak mewujud dalam bentuk mitologis a la Yunani. Alih-alih dewa tersebut mengejawantah dalam sebentuk pasal 17 ayat 3 butir d dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49 Tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Dewa yang mengatur segenap akademisi strata satu agar lulus maksimal 5 tahun.

Peraturan ini konyol karena menjadikan seluruh akademisi berubah menjadi Sisifus yang harus patuh, diam, tenang, agar bisa lulus cepat. Ini berbahaya, ini adalah normalisasi.


Normalisasi 
Normal itu berbahaya. Kenapa? Karena ia menyeragamkan. Normal adalah dogma yang tumbuh di masyarakat untuk menyeragamkan persepsi demi stabilitas kondisi. Maka di tengah kondisi yang dianggap normal, segala sesuatu yang dianggap abnormal dan keluar dari pakem standar kenormalan kerumunan harus disingkirkan, atau dididik (baca: dipaksa) menjadi normal demi stabilitas kondisi lingkungan sekitar.

Meminjam konsep relasi-kuasa Michel Foucault, normal patut dicurigai dengan pertanyaan “Apa itu normal? Siapa yang punya hak menentukan mana yang normal dan abnormal?” Pertanyaan ini penting untuk membongkar pemahaman umum mengenai mana yang normal dan abnormal. Karena pada akhirnya normal dijadikan senjata bagi kuasa untuk melanggengkan kuasanya, menyingkirkan apapun yang dianggap membangkang.

Menjadi normal (baca: seragam) itu konyol karena sejak lahir setiap manusia dicetak menjadi sosok yang berbeda-beda. Beda fisik, beda kepribadian, beda nalar dan gagasan. Di sini peran kuasa masuk. Demi menjalankan agenda besarnya ia harus menormalisasi manusia yang berbeda-beda, menjadikannya Sisifus (baca: mesin) yang patuh dalam satu sistem seragam. Diam, patuh, sibuk mendorong batu tanpa bisa bertanya kenapa harus mendorong batu. Tanpa bisa berpikir melompat saja dari jalur batu itu dan keluar dari perintah kuasa.

Pada era orde baru, normalisasi di ranah intelektual yang digeluti para mahasiswa calon sarjana Indonesia pernah hadir dalam bentuk kebijakan melalui SK menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).


Garis besar dari kebijakan tersebut adalah memaksa mahasiswa duduk diam belajar di kampus, mencerabut tanggungjawab sosialnya, menjauhkan mahasiswa dari politik dan konsolidasi gerakan perlawanan. Didukung SK tersebut dan ditambah instrumen militer, rezim orba mengkonfrontasi segala bentuk benih perlawanan atau yang dianggap abnormal di kampus. Semua mahasiswa harus normal (baca: seragam), berangkat kuliah-duduk manis di kelas-pulang kuliah-cukup.

Setali tiga uang dengan NKK/BKK, Permendikbud No 49 Tahun 2014 adalah bentuk paling mutakhir dari normalisasi mahasiswa. Meskipun tidak se-represif orba dengan kerasnya popor senjata dan tendangan sepatu lars militer, normalisasi era sekarang ini memiliki agenda besar yang sama: menyeragamkan cara berpikir mahasiswa menjadi yang normal. Segala yang liyan (baca: abnormal) harus disingkirkan dan diseragamkan demi stabilitas nasional. Sebagai pengganti instrumen militer tenggat waktu lulus 5 tahun adalah senjata normalisasi ini.

Skenario normalisasi ini terbaca jelas. Dengan tenggat waktu harus lulus 5 tahun mahasiswa akan sangat sibuk mengerjakan segala tetek bengek tugas kuliah, ujian, dan mengejar target SKS yang diambil. Mereka akan tercerabut dari perkara sosial, tak sempat mengembangkan potensi diri dan mencari interest serta bakat yang secara alamiah sebenarnya sudah tertanam dalam DNA. Mahasiswa tak sempat lagi belajar apa itu politik, mereka justru jijik pada politik yang di era modern dipahami sebagai sesuatu yang kotor.


Padahal menurut pemahaman filsuf Hannah Arendt, politik adalah instrumen hidup bersama, untuk menyatukan manusia yang berbeda agar hidup dengan harmonis di ruang publik. Menyingkirkan kepentingan “yang privat” karena “yang privat” inilah biang dari penyeragaman. Yang privat ini mewujud dalam bentuk oligarki politik, korporasi (nasional/multinasional), dan kaum agamis.

Yang privat inilah yang entah bagaimana mampu menjadikan Negara menjadi apa yang disebut oleh pemikir anarkisme sebagai "kedaulatan usang.” Yang privat ini mampu menyingkirkan peran Negara dalam membuat kebijakan, menggantinya dengan versi yang lebih menguntungkan agenda mereka.

Yang privat ini yang menjadikan mahasiswa harus lulus 5 tahun, agar segera lulus dan menjadi “tukang” untuk kepentingan politis maupun ekonomis mereka. Tragedi ini terjadi di seluruh bidang keilmuan di seluruh institusi pendidikan tinggi Indonesia, karena kebijakan pemerintah ini tentu mengikat semua infrastruktur dan stakeholder pendidikan tinggi. Tak terkecuali mengikat kampus Sewon sebagai perguruan tinggi seni.


Mesin Seni 
Di ranah pendidikan seni (terutama di kampus Sewon) normalisasi yang dijalankan “yang privat” ini mengerikan. Normalisasi harus lulus 5 tahun ini yang menjadikan si gadis pencukil grafis harus bekerja keras menyelesaikan segala tugas dan tuntutan kejar SKS. Siang-malam ia harus mandi keringat mencukil dan mencetak, menggambar 500 sketsa per semester, hadir di ruang kelas demi mengisi absen dan kuliah mendengar petuah dosen. Si gadis pencukil akan sangat capek fisik dan jiwa. Fisiknya didera kelelahan mengerjakan kewajiban akademis, jiwanya lelah karena tengah di-malih-rupakan menjadi Sisifus yang patuh.

Inilah modernitas, dromologi dalam pemahaman Paul Virilio. Saat segala aspek hidup harus mengalami percepatan. Termasuk cepat lulus bagi para akademisi. Percepatan dalam modernitas ini patut digugat karena ia menyingkirkan makna, membanalkan segalanya demi cepat cepat dan cepat.

Dengan percepatan pendidikan, manalah sempat si gadis pencukil bermain-main ke luar kampus? Belajar memaknai dunia, mencerap realitas dunia melalui datum indera lalu memutuskan menjadi seorang seniman berpandangan empiris atau akhirnya memutuskan menjadi rasionalis yang menggores gambar abstrak. Mana sempat ia belajar memahami bahwa ada pertentangan sengit antara art for art vs art for people di dunia seni?

Si gadis pencukil tak akan sempat mengeksplorasi interest atau bakat diri yang sebenarnya. Bagaimana kalau ternyata ia lebih cerdas dan mumpuni di bidang linguistik yang akan menjadikannya ahli bahasa masa depan? Namun ia tak sempat mendalami hal itu karena didera kelelahan mengejar lulus di bidang printmaking.


Inilah normalisasi di pendidikan tinggi seni (baca: kampus Sewon). Si gadis pencukil dan kameradnya para mahasiswa se-Sewon raya tak akan sempat mengasah jati diri, menemukan gaya seni pribadi. Mereka tengah di-malih-rupakan menjadi mesin seni yang secara statis dan presisi bergerak membuat produk kesenian yang fungsional. Demi stabilitas yang didambakan “yang privat”.

Entah siapa yang pertama menelurkannya, di kampus Sewon terdapat sebuah kredo bahwa lulus kuliah lama itu lebih baik ketimbang lulus cepat. Atau mahasiswa yang di-DO justru yang akan menjadi seniman besar. Maka para mahasiswa yang belajar sebelum adanya kebijakan lulus 5 tahun akan betah berlama-lama di kampus. Kadang menghabiskan tenggat waktu maksimal 7 tahunnya di kampus demi memuaskan proses belajar seni.

Namun lulus lama sekalipun tidak akan lebih baik jika dalam periode kuliah yang lama itu sang mahasiswa tidak melakukan apa-apa. Jika ia sibuk menghabiskan masa kuliah lama itu untuk sekadar bersenang-senang tanpa belajar maka pada akhirnya mahasiswa itu justru akan kolaps dan tumbang. Tak selamat dari kejaran SKS, dan tak selamat dari dunia sebenarnya karena ia tak sempat belajar dan segera menemukan interest dan kemampuan diri yang sebenarnya. Setelah lulus, mereka sama saja dengan adik kelasnya yang lulus 5 tahun: bingung harus ngapain.


Maka yang terpenting bukanlah lulus cepat atau lulus lama, tapi apa yang sudah dilakukan mahasiswa selama masa studinya tersebut. Mau lulus 4 tahun atau 7 tahun, sama saja asalkan sang mahasiswa mampu belajar semua minatnya dengan porsi signifikan. Selain memenuhi syarat tetek bengek akademis kampus, ia harus belajar hal-hal lain di luar kampus. Ia harus menemukan jati dirinya yang sebenarnya, membangun relasi, berorganisasi, pacaran sambil berdebat diskursus seni dengan sang pacar.

Para calon seniman di kampus Sewon harus matang dengan sempurna, mengalami proses kebosanan di kampus, mengamini pernyataan Haruki Murakami bahwa “hal terbaik dari sekolah adalah kita jadi tahu bahwa hal terbaik dari hidup tidak bisa didapatkan di sekolah”, kemudian keluar dari lingkungan kampus dan belajar memaknai dunia di luar tembok tinggi kampus seni.

Jika para (calon) seniman ini matang dengan model karbitan lulus 5 tahun maka mereka tak akan matang sempurna. Setelah lulus mereka hanya akan menjadi seniman karbitan yang konformis, bergabung dengan lulusan lain dari bidang ilmu dan perguruan tinggi lain. Menjadi apa yang disebut Pierre Bourdieu dalam analisisnya. Bahwa kaum intelektual tak akan menjadi corong bangsa dan penggerak perubahan. Alih-alih kaum intelektual akan menjadi tukang, mesin intelek yang menjadi anak buah para “yang privat” (baca: oligarki politik, pemodal, korporasi).

Ya, “yang privat” sudah menunggu para kaum intelektual ini lulus agar segera menjadi tukang untuk menjalankan agenda pribadi mereka. Patut kita haturkan doa agar rekan-rekan mahasiswa seni yang dicengkeram normalisasi kuliah 5 tahun ini tetap diberi kesehatan, agar di luar kesibukannya mengerjakan tetek bengek kuliah tetap punya tenaga dan waktu untuk belajar di luar kampus. Agar terhindar dari jebakan konformisme dan normalisasi, agar mereka tak sekadar jadi mesin seni (baca: tukang) setelah lulus.



Yogyakarta, 21 April 2015. 


Aris Setyawan, penulis lepas. Pengurus komunitas Roemansa Gilda. Alumni jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Dapat dihubungi melalui email arisgrungies@gmail.com atau twitter @arissetyawan 

Daftar Bacaan
Bourdieu, Pierre. 2000. “For a Scholarship With Commitment. Dalam Profession. Modern Language Association. Http://www.jstor.org/stable/25595701 (Akses 03/07/2011. 09:30)

Mills, Sara. 2003. Michel Foucault. London: Routledge.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Sheehan, Sean M. 2014. Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tangerang: Marjin Kiri.

Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan Dalam Pemikiran Hannah Arendt. Tangerang: Marjin Kiri.


Link: http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=270       

baca selengkapnya »

Monday 9 March 2015

Kutipan #3: Membaca itu..

"Membaca itu seperti berpikir, seperti berdoa, seperti berbicara dengan seorang teman, seperti mengekspresikan ide-idemu, seperti mendengarkan ide-ide orang lain, seperti mendengarkan musik, seperti melihat pemandangan, seperti berjalan-jalan di pantai." (Roberto Bolano, 2666)

Sumber: Facebook Gambang.

baca selengkapnya »

Thursday 26 February 2015

Kutipan #2: Puisi Seharusnya

"Puisi (seharusnya) mampu mengangkat keindahan lebih tinggi di atas kebenaran." (Sakutaro Hagiwara (1886-1942))

Sumber: Facebook Sofyan RH Zaid

baca selengkapnya »