Saturday, 18 May 2013

Cerpen: Gupala Buntung oleh Andri Saptono di Joglosemar (02/05/2013)

Kehidupannya terlampau sederhana. Sebagai seorang pemahat yang ingin terus berkarya ia memutuskan untuk menyepi dengan tinggal di puncak Lawu, di antara bedeng rumah seng yang dibangun untuk para peziarah di Argo Dumilah . Untuk hidup ia mencari kayu bakar yang dijual ke warung Mbok Yem. Sebagai gantinya ia mendapatkan makanan, beras serta mie instan. Kadang kala ada pengunjung yang datang membeli sebuah patungnya, yang rata-rata ornamen dan abstrak saja. Ia tak pernah memasang harga pada patung-patungnya itu.

“Itu hanya untuk keindahan saja. Silakan dibayar seikhlasnya.”
Pernah seorang pejabat tinggi datang ke puncak Lawu ini membeli sebuah patung dengan harga sepuluh juta. Padahal itu hanya patung biasa. Si pemahat tentu tidak menolak. Tetapi ketika mendengar patung itu ditaruh di ruang kerja si pejabat, dan setiap malam tertentu diberi bunga tujuh rupa serta dibacakan mantra-mantra, si pemahat marah-marah dan membakar beberapa patungnya yang lain.

Si pemahat tak menginginkan karyanya disembah dan diperlakukan begitu. Hal itu membuatnya tersinggung.
Maka sejak itu ia memutuskan tidak menjual lagi patungnya. Namun karena itulah para pembeli makin berdatangan. Hingga ia terpaksa turun gunung dan menyepi di komplek pemandian di Matesih ini. Di komplek pemandian ini tempatnya sepi dari pengunjung dan nyaman untuk bekerja.

Karena turun tak membawa apa-apa, ia mulai kesulitan mencari makan. Pekerjaannya banyak menumpuk tak selesai. Sudah seharian ia belum makan. Kemarin saja ia hanya makan sebuah durian pemberian dari seorang pedagang di depan komplek pemandian ini. Tetapi perutnya masih berkukuruyuk kalau belum kemasukan nasi. Ia ingin makan nasi.

Ia terpaksa berhutang ke sebuah warung makan yang dekat tempat kerjanya. Ia akan membayarnya dengan salah satu patungnya yang sudah jadi itu, yang paling bagus.

Pemilik warung yang jatuh kasihan, membolehkan.
“Ibu boleh pilih salah satu patung-patung itu. Harganya cukup mahal kalau dijual untuk souvenir lagi,” kata si pemahat.
“Tidak usah Pak. Kalau sampeyan lapar, silakan ke sini. Makan di sini. Soal bayaran besok kalau sudah ada uang.”

Si pemahat berterima kasih pada si pemilik warung. Bahkan si pemilik warung itu berbaik hati ikut mempromosikan patung-patung karyanya.

“Apa dia membuat patung Gupala seperti yang di taman depan itu? Kalau ada aku mau beli. Banyak sih yang terbuat dari batu, tapi saya ingin yang terbuat dari kayu,” tanya seorang pengunjung. Sepertinya pengunjung ini orang berduit atau seorang pejabat. Mobilnya di depan bagus. Jika dilihat dari nomer plat mereka mereka adalah pejabat nomer satu di kota Solo ini. Dan dari lagaknya yang misterius, tampaknya ia tak jauh beda dengan beberapa pejabat yang senang melakukan ritual-ritual mistis di lereng Lawu ini.
“Kalau soal itu, saya tak tahu. Coba saja sendiri ke sana Pak.”

Pengunjung itu dengan sopirnya menuju ke pemahat yang sedang sibuk menghaluskan sebuah patung.
Si pemahat juga melihat si lelaki itu.
“Selamat siang,” salam si lelaki itu sambil tersenyum lebar.
Si pemahat acuh serta memalingkan wajah. Ia tampak tak senang.
“Pahatannya anda bagus-bagus Mas. Apa dijual?”
“Ya.”
Si pengunjung itu melihat-lihat. Beberapa pahatan memang menarik, tapi bukan itu yang dicarinya.
“Apakah saya bisa pesan sebuah gupala ?”
“Maaf, saya tidak membuatnya.”
“Begitu ya. Bagaimana kalau saya bayar dengan harga setimpal. Lima juta untuk sebuah gupala, bagaimana?”
“Maaf, tetapi saya tidak membuatnya.” Si pemahat bergeming.
“Silakan anda ke tempat lain. Saya tidak membuat sejenis itu.”
Si lelaki itu tampak tersinggung. Ia berkali menghela napas berusaha menahan diri.
“Jangan macam-macam dengan tuan saya,” si sopir ikut campur. Ia menyingsingkan lengan bajunya. “Tidak boleh ada yang menolak perintahnya!”
Si pemahat malah mencibir.
“Lebih baik anda pergi. Di sini tak ada apapun yang anda cari.”
Mereka terpaksa pergi. Sesaat sebelum masuk mobil ia memberi perintah pada sopirnya.
“Bawa dia ke galeri kita. Kalau tidak mau, paksa dia. Terserah bagaimana caranya.”
Si sopir mengangguk. Mereka turun dari pemandian itu. Si pemahat bersyukur dalam hati tidak menjual karyanya kepada lelaki brengsek tadi. Tipe para pejabat yang hobi mendatangi tempat keramat. Yang menjual diri mereka pada jin dan demit untuk memperoleh kekuasaan.
Si sopir menerjemahkan perintah tuannya itu dengan cepat. Ia menghubungi preman yang sudah menjadi koleganya. Perintahnya cukup jelas: membawa pemahat itu hidup-hidup ke galeri.
Tiga orang preman berangkat malam-malam ke pemandian di Matesih itu. Mereka sudah menyiapkan karung goni, tali dan pisau untuk membawanya.
Mereka membayangkan akan gampang meringkus si pemahat itu. Tetapi di sana, mereka tak menemukan lelaki itu. Hanya sisa-sisa kayu yang belum rampung.
“Ia pasti kembali. Semua barangnya masih ada. Kita tunggu saja di mobil. Salah satu akan mengawasi.”
Mereka kembali ke mobil. Tempat pemandian itu cukup sepi dan terkesan singup. Saking takutnya, seorang dari mereka minta diantarkan ketika mau buang air kecil.
“Dasar, kampungan. Preman kok takut setan!”
Salah seorang mengawasi. Setengah jam berlalu tak ada tanda-tanda.
“Apakah kita pergi dulu saja?” tanyanya pada seorang lelaki beranting, yang merupakan komandan mereka.
“Tidak perlu. Sebentar lagi.”
Mereka menunggu. Hingga dua jam berlalu barulah kelihatan si pemahat yang turun dari bukit. Sesampai di tempatnya ia menyalakan lampu, ternyata mau melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda itu.
“Kemasi barangmu dan jangan melawan kami!” suara berat itu membuat si pemahat mendongak.
“Siapa kalian?”
“Jangan banyak tanya. Jika kau melawan kau akan terluka.”
Si pemahat merasakan firasat buruk. Ia harus melarikan diri. Sebuah patung yang cukup besar langsung ia lemparkan kepada mereka dan dengan cepat ia meloncat ke arah kegelapan.
“Kejar!”
Tiga orang lainnya berhasil menerjangnya. Si pemahat kini tertindih dan tak bisa bergerak. Sekarang ia tak bisa melepaskan diri dari tali yang membelenggunya.
“Lebih baik jangan melawan!”

Sebuah tamparan cukup keras mencecapkan rasa asin darah di lidahnya.

***
Dalam sebuah galeri. Di sana bermacam-macam lukisan, benda antik, patung berjejer. Sepertinya sebuah galeri benda antik atau semacam itu. Beberapa karya yang ada menurut pemahat itu dibuat dengan sangat bagus dan semuanya asli.

Ia menghela napas, menyadari ia terkurung selama setengah hari di tempat ini. Ia lapar.
Ketika malam baru si pejabat itu menemui bersama sopirnya.
“Aku sudah katakan kau tak akan bisa menolakku. Hahaha…”
“Maumu apa?”
“Buatkan patung gupala dengan kayu cendana sebanyak empat buah. Akan kupasang di depan dan belakang galeri ini. Aku akan mengundang presiden ke saat pembukaan galeri ini. Apa kau tidak akan bangga patungmu dilihat dan dikagumi presiden?”
Si pemahat mencibir. “Tentu bukan hanya untuk itu saja.”
“Kau sudah tahu tentang hal semacam itu. Tapi itu bukan urusanmu. Kau hanya perlu mendengar perintahku.”
“Aku menolak.”
“Kau tak bisa menolakku di sini.”
“Aku tidak akan membuat patung apapun di sini. Titik!”
“Begitu.”
Si lelaki itu mengeluarkan pistolnya.
“Dor!”
Si pemahat memelototkan mata. Siapa lelaki berdarah dingin ini sebenarnya? Bahkan sopirnya sendiri ia bunuh tanpa perasaan, seperti membunuh seekor lalat saja.
“Jadi kau ingin siapa lagi yang harus aku bunuh.”

Si pemahat menurut. Setelah mayat disingkirkan, bahan baku patung itu segera dihadirkan. Sebagai seorang pemahat yang biasa menghadapi kayu, ia harus mengakui bahwa kayu di depannya ini sangat berkualitas tinggi. Tidak hanya umur dan jenis kayu pilihan, namun kayu ini juga berdiameter mengagumkan. Pastilah ini kayu curian dari hutan, karena cendana termasuk kayu yang dilindungi negara. Tapi, bukankah soal beginian sudah mahfum di negara ini?

Si pemahat tak ingin ada nyawa melayang sia-sia. Ia pun mulai membuat patung gupala itu. Tanpa perlu mencari gambare refrensi, ia tinggal mengambil itu dari dalam otaknya. Semua perhitungan pada tiap sisi dan lingkar patung itu sudah ia rencanakan baik-baik.

Hanya ia tak habis herannya mengapa ia bisa bersangkut paut dengan orang gila semacam ini.
Beberapa hari ia terbenam dengan pekerjaannya. Untuk hal ini beberapa pelayan dan asisten dihadirkan untuk membantu. Mereka para pekerja tambahan itu dilarang bicara dan hanya menuruti perintah si pemahat saja.
Satu patung selesai.
Dua patung selesai.
Patung ke tiga selesai.

Waktu sudah mulai mepet. Tinggal seminggu lagi. Ia dipaksa merampungkan segera. Kalau tidak semua pekerja itu akan mati sia-sia.

Ketika akan menggarap patung ke empat, tangan pemahat itu tiba-tiba gemetar seperti orang parkinson. Kejadian yang tiba-tiba itu mengejutkannya dan membuatnya ketakutan. Tangannya buyuten, menolak untuk bekerja. Apa yang harus ia lakukan?

Tangan itu masih tak bisa digerakkan. Ia mengatakan pada para pekerja itu untuk libur satu hari ini.
“Saya perlu istirahat,” katanya pada mereka.

Para pekerja itu keluar walau dengan takut bagaimana kalau tuan mereka akan marah. Tapi tak ada yang bisa dilakukan. Si pemahat kecapekan hingga tangannya menolak bekerja, pikir mereka.

Si pemahat merebahkan diri di kamar dalam studio itu. Tangannya masih belum ada perubahan. Ia berpikir dan berpikir. Jika tak selesai maka semua pekerja itu akan mati sia-sia.

Saking lelahnya ia jatuh tertidur. Dalam mimpi ia bertemu dengan seorang tua berjanggut putih yang mengatakan dari puncak Lawu. Ia memberi pesan agar patung itu tidak dibuat sama persis seperti yang lain. Buat tangan gupala terakhir itu buntung tak bergada. Jika tidak begitu, maka akan ada bencana besar. Si pejabat nomer satu di kota Solo itu sedang memanggil demit yang ganas yang bisa menghancurkan negara ini.

Si pemahat tersentak dari mimpi. Dan betapa terkejut ketika tangannya tiba-tiba sembuh.
Akhirnya, si pemahat itu membuat patung seperti dalam pesan mimpinya. Ia berpura-pura membuat kesalahan hingga patung gupala itu hanya berlengan satu dan tak bergada. Ketika dilapori tentang hal ini si pejabat yang datang bersama seorang paranormal berambut gondrong mencak-mencak pada si pemahat. Namun tak ada yang bisa dilakukan. Waktu sudah tak tersisa.
“Apakah ritual nanti tetap bisa dijalankan?”
“Kita lihat saja. Aku kira pasti bisa.”
“Kalau tidak bisa kau yang akan mampus.”
Patung-patung gupala itu akhirnya selesai. Tiga buah gupala sempurna dan sebuah gupala buntung tanpa gada.
“Aku minta kebebasanku. Itu saja,” tuntut si pemahat setelah pekerjaannya usai.
“Baik, akan kuberikan. Tapi jangan sampai kau bocorkan ini pada siapapun. Atau kau akan mati. Itu mudah bagiku.”

Si pemahat tahu ancaman itu tidak main-main. Segera setelah bebas ia menyepi ke gunung Merapi, di dekat puncak garuda. Tempat itu lebih aman dan jarang dikunjungi peziarah.

Sementara itu di galeri Semarmesem, sebelum dimulai pembukaan galeri benda antik itu, dimana Presiden juga menyaksikan, dimulailah ritual oleh sang pemilik.

Ketiga patung gupala itu ditaruh di tengah ruangan. Disiram kepalanya dengan kembang tujuh rupa. Sesuai petunjuk sang paranormal, jika prosesi ini berjalan lancar, maka dengan patung ini ia akan bisa menggulingkan presiden sekarang yang berkuasa. Patung gupala ini akan hidup dan membunuh sang presiden. Entah bagaimana caranya.

“Untuk upacara yang terakhir yaitu menyiram gupala dengan darah ayam, kmi serahkan waktu dan tempat untuk Bapak Presiden langsung. Waktu dan tempat kami persilakan,” kata si pembaca acara yang cantik.

Gemuruh tepuk tangan mengiringi si Presiden mendekat kepada patung itu. Si presiden sendiri yang menyembelih ayam dan mengalirkan darahnya ke kepala gupala. Betapa terkejutnya saat disiramkan pada gupala yang buntung tangannya itu, si gupala itu bergerak hidup seperti ingin memukul si Presiden. Namun karena ia gupala buntung tanpa gada, ia hanya menjatuhi tubuh presiden yang gemuk, membuat semua pengunung jadi tertawa. Apesnya semua orang tidak ingin segera menolong.

“Bagaimana ini? Mengapa si buntung itu tidak bisa membunuhnya,” si pemilik galeri mencak-mencak.
“Dia tak punya tangan dan gada Pak. Ini gara-gara pemahat itu.”

Si pejabat itu geram. Namun tak ada yang bisa ia lakukan. Si pemahat itu sudah pergi jauh. Dan si presiden pasti akan marah-marah padanya.

Dan benar saja Presiden segera disingkirkan dari tempat itu.
“Aku mau semua rekaman tentang acara ini dilenyapkan. Juga si pemilik galeri harus mendapatkan balasan,” perintah si Presiden yang merasa dipermalukan. Selain jasnya berbau ayam, kepalanya sendiri yang tersiram darah yang anyir itu.

Si presiden segera mengontak beberapa intelejennya. Si pejabat yang juga pemilik galeri itu harus disingkirkan bagaimanapun caranya. Dibuat pembalasan dendam itu sedemikian rapi, mungkin seperti kecelakan mobil di jalan raya.

0 comments:

Post a Comment