Karya Andri Saptono*
-Solopos, April 2015
Perempuan itu selalu datang ke peron stasiun ini setiap senja. Sudah
sebulan ini aku menandai perempuan itu selalu datang sendirian ke tempat
ini. Dari penampilannya tentulah ia dari kalangan menengah ke atas.
Pakaiannya terlihat mahal dan berkelas. Mobilnya pun sedan BMW keluaran
Eropa. Tetapi, kedatangannya setiap hari ke stasiun ini membuatnya
terlihat aneh dan mencurigakan.
Ah, memang melihat orang cantik yang berperilaku aneh memang menarik.
Barangkali ia adalah seorang seniwati. Kau tahu seniman atau seniwati
seringkali melakukan sesuatu yang nyleneh bagi sebagian orang, tetapi
dari perspektif lain ia ternyata sedang membuat mahakarya besar. Atau
barangkali ia seorang peneliti yang sedang mengadakan penelitian di
stasisun ini. Tapi, penelitian apa yang dilakukan di stasiun ini? Apakah
ada yang istimewa dengan stasiun ini?
Mungkin saja. Stasiun ini banyak diabadikan dalam karya sastra. Aku
sering membacanya dalam koran minggu terbitan nasional itu. Atau
kudengar juga pernah nama stasiun ini dijadikan sebuah buku novel.
Oh, kau belum tahu nama stasiun kereta ini. Namanya stasiun Biru. Jangan
kau tanya mengapa stasiun ini diberi nama Biru. Kulihat juga cat tembok
di sini tak semua berwarna biru. Beberapa tanda prosedur komplek yang
penting juga berwarna merah. Dan semua tampak wajar seperti stasiun
lainnya di Indonesia ini. Tapi mungkin dahulu orang yang menamakannya
suka dengan kata Biru. Jadi ia menyebut itu dan begitulah semua terjadi.
Dan seperti kata Shakspeare, apalah arti sebuah nama. Aku lebih cocok
dengan ungkapan yang terakhir ini.
Kembali ke perempuan itu. Senja ini ia datang seperti biasa. Kupikir aku
ingin bertanya sesuatu padanya. Mungkin ada yang bisa kubantu.
Maksudku, aku merasa ia seperti mencari sesuatu. Dan bukankah sesama
manusia sebagai makluk sosial harus selalu membantu yang lain. Jujur,
aku pun tak bertendesi apapun.
Kali ini kudekati ia. Ia sedang menekuri hapenya. Melihat inbok di layar android yang tak lekas dijawabnya.
“Permisi mbak… saya lihat mbak sebulan ini setiap hari ke sini…ehm,
apakah mbak ini sedang mencari sesuatu? Mungkin ada yang bisa saya
bantu.”
Perempuan itu menoleh. Wajahnya memang cantik. Tapi aku mengalihkan
perhatianku dari wajahnya yang rupawan itu. Dan aku sempat bersirobok
dengan matanya yang menatapku. Astaga, mata itu tidak seperti melihatku.
Mata itu kosong.
“Barangkali ada yang bisa saya bantu. Saya petugas kebersihan di sini.”
Perempuan itu masih diam. Aku masih menunggu jawaban darinya. Dan memang
terasa segan jika berbicara dengan seseorang tapi tak ditanggapi.
Sepertinya aku yang jadi pengganggu di sini.
“Apakah saya menganggu anda? Maafkan saya kalau begitu. Saya akan pergi.”
Aku berdiri. Tapi aku masih menunggu. Dan memang perempuan itu tak
berkata apapun. Aku pun pergi dari tempat itu. Kulirik dari sudut
mataku, perempuan itu masih bergeming di tempatnya. Orang-orang di
sekitarku tampak berkasak kusuk tentangku.
“Wah, berani juga kau, Man?” si Sudrun tertawa cengegesan. “Kuacungi jempol kalau kamu berhasil dapat nomernya.”
“Jempolmu abuh itu. Tadi aku itu cuma nanya dia. Aku kasihan soalnya.
Dia tampak seperti orang bingung. Sudah sebulan ini selalu datang ke
peron ini.”
“Ah, masak sih orang seperi dia bingung. Lihat saja orang cantik begitu,
tampaknya kelas menengah ke atas. Bukan potongan orang ndeso seperti
kita. Alasan kamu saja kan?”
“Tenan! Aku tidak bohong. Mungkin saja dia butuh bantuan.”
Aku teringat tentang mata kosong itu. Hendak kukatakan pada Sudrun. Tapi
kurasa tak ada gunanya. Dia lebih suka berpikir ngeres kalau melihat
perempuan cantik sendirian.
Selepas magrib perempuan itu pulang seperti biasa. Dalam hati, entah
mengapa aku berharap dia akan kembali besok pagi. Aku akan bertanya lagi
padanya. Semoga dia mau menjawab sepatah dua patah kata padaku. Ya,
barangkali aku bisa membantu jika dia memang butuh bantuan.
Senja itu datang lagi bersama perempuan itu. Atau memang senja tak akan
lengkap tanpa perempuan itu di stasiun ini. Ah, aku merasa jadi
sentimentil. Kuamati dirinya ia duduk di peron. Membuka hape yang sama.
Kali ini ia memakai kerudung hitam, kacamata hitam dan baju terusan yang
besar. Ia nampak seperti perempuan religius dengan pakaian begitu.
Kubayangkan bagaimana jika ia memakai cadar.
Imaginasiku pergi ke mana-mana. Tapi buru-buru kupenggal. Kembali
kuberanikan datang kepadanya lagi. Tak kupedulikan omongan rekan-rekan
kerjaku. Biar saja mereka berkata seenaknya.
“Sore mbak…” sapaku.
Perempuan itu masih menekuri hape. Ah, rasanya tak nyaman berbasa-basi
dan sok akrab seperti ini. Tapi sudah kutekadkan untuk membuat perempuan
itu bicara.
“Boleh saya duduk di sebelah anda?” tanyaku.
Dia masih diam. Aku mencoba memasang senyum. Barangkali ada yang bisa
cair dengan senyuman. Tapi sialnya, perempuan itu masih dingin.
Kutekadkan untuk duduk meskipun tak dipersilakan.
“Saya tahu saya mungkin tak sopan ingin tahu urusan orang lain. Tapi
kalau anda butuh bantuan atau sedang mencari sesuatu, barangkali saya
bisa membantu masalah anda.”
Perempuan itu masih diam. Dia hanya menghela napas. Dan pandangan itu masih kosong.
“Aduh, saya seperti ngomong sama reco ya? Kalau anda tidak suka, lebih
baik katakan saja, mbak. Daripada saya dicuekin begini, sakitnya tuh di
sini,” kataku melucu menirukan Cita Citata.
Tapi perempuan itu bergeming.
“Baiklah, saya perkenalkan nama saya kalau anda tidak keberatan. Nama
saya Paiman. Saya tukang bersih-bersih di sini. Saya sudah berkeluarga,
mbak. Jadi anda tak usah khawatir dengan saya. Saya tidak berniat buruk
sama orang asing sekalipun. Takut kuwalat mbak. Eh, mbak paham kuwalat
kan?”
Si perempuan itu tetap diam.
“Kuwalat itu bahasa Jawa mbak. Semacam karma gitulah. Kalau kita berbuat
jahat, pasti kita akan dapat balasan yang jahat juga dari orang lain.”
Aku pun terus bercerita. Apa saja yang bisa kuomongkan.
“Istri saya di rumah jualan pecel, mbak. Dulu jualan juga di stasiun
ini. Tapi itu dulu. Sekarang sudah dilarang jualan di stasiun. Yang
boleh jualan hanya swalayan di pojok itu saja, mbak. Ya, orang kecil
gimana lagi. Sudah jatahnya digusur.”
Dia menatap pada tempat yang jauh menembusi bangunan di depannya. Tak
dihiraukannya suara orang lalu lalang di sekitarku. Dan sialnya juga
diriku.
“Istri saya itu memang jago bikin pecel lho, mbak. Saya senang setiap
hari dikasih lauk pecel. Tapi, anak saya yang bungsu cepat bosan. Dia
suka ayam goreng. terpengaruh sama film Upin Ipin itu lho mbak. Mbak
tahu kan Ipin Upin…”
Perempuan itu tak menggubris. Kesabaranku hampir habis rasanya.
“Anak saya ada tiga mbak. Dua masih di SD. Sedang yang kecil masih
berumur satu tahun. Masih trantanan jalan sama mboknya. Wah, senang
sekali kalau saya pulang. Si kecil itu memang menghibur sekali, mbak.
Kalau mbak sendiri sudah berkeluarga?”
Perempuan itu sungguh beku. Aku pun tetap dableg. Ini seperti bicara dengan patung saja.
“Baiklah, kalau anda itu tidak mau diganggu saya. Tapi begini mbak,
saya mau cerita. Ini cerita terakhir saya dan tolong anda dengarkan.
Begini, sudah sebulan ini anda datang ke sini setiap hari. Karena itulah
saya penasaran. Daripada mati penasaran, saya pun berniat bertanya pada
sampeyan biar saya tak penasaran lagi. Lantas tiga hari saya menyapa
mbak itu. Tapi mbak malah tidak menggubris saya.”
Perempuan itu sekilas menatapku. Tapi masih saja perempuan membisu. Aku pun jadi kesal.
“Oalah mbak. Saya percaya anda itu tidak bisu kok. Mbok, ya ngomong to!”
Astaga, perempuan itu tetap bisu. Aku hampir mengumpat padanya. Tapi aku boleh menyerah.
“Baiklah, ini terakhir kali. Kalau anda tak sudi menjawab ya sudah.
Pesan saya, tolong hargailah orang yang bicara kepada anda. Beri
penghormatan satu atau dua patah kata. Itu cukup kok. Wassalam…”
Aku bangkit berdiri hendak berlalu.
“Tunggu Pak.”
Aku lega. “Oalah, ngomong gitu aja kok lama mbak…”
“Maaf…”
“Baiklah, silakan ngomong ke saya apa saja. Saya akan jadi pendengar yang baik kok.”
“Terima kasih…”
Aku duduk. Menunggunya bicara.
“Silakan…”
“Bentar pak…”
Perempuan itu membuka inbok. “Barangkali ada pesan dari suami saya.”
“Memangnya kemana suami anda?”
“Dia pergi ke Jakarta. Naik kereta Argo Bisnis. Saya ke sini mau menjemputnya.”
“Oh, makanya anda menunggu di sini. Tapi kok setiap hari anda ke sini. Kapan berangkatnya mbak?”
“Tanggal 28 Februari.”
“Tanggal 28.” Aku berpikir. “Itu kan sudah lama. Sekarang ini tanggal 30 maret.”
“Entahlah, saya tidak tahu mengapa ia tidak mengabari saya kalau pulang. Ini juga tidak ada sms.”
Aku mengernyitkan dahi. Bukankah Argo Bisnis yang berangkat tanggal 28
Februari itu adalah yang kereta mengalami kecelakaan naas itu.
Jangan-jangan, perempuan ini menunggu suaminya yang sudah mati. Ya,
semua penumpang kereta itu meninggal karena kereta terjatuh ke jurang.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
“Saya menunggunya di sini ingin menjemputnya. Tapi, mengapa dia tak mengabari saya kalau sudah pulang.”
Air mataku menggenang. Aku tak tahu apa yang akan kukatakan. Sepertinya sebuah palu besar menghantam dadaku hingga sesak.
“Anda harusnya tak menunggunya lagi, mbak. Suami anda tidak akan kembali.”
Perempuan itu menatapku tajam. Tatapannya penuh kebencian.
“Mengapa dia tidak kembali? Bukankah kereta dari Jakarta akan datang sebentar lagi.”
Belum satu patah kata kujawab. Sebuah tangan menarikku kuat. Kulihat dua orang laki-laki di belakangku.
“Sebaiknya anda pergi.”
Aku bangkit. Kupikir mereka saudara perempuan itu dan tidak suka melihatku dekat padanya.
Dua lelaki itu mengajak perempaun itu pergi. Dan si perempuan itu tak menolak. Sekilas ia melihatku dengan tatapan tak senang.
Aku tak tahu apakah dia kembali atau tidak ke stasiun ini. Kuharap ini
terakhir kali aku bertemu dengannya. Tatap matanya yang penuh kesedihan
itu mengguncang hatiku. Aku pasti tak akan sanggup untuk bertatapan
kedua kalinya sejak saat ini.
*Novelis dan cerpenis.
Bergiat di
Pakagula Sastra Karanganyar.
Link:
https://atmokanjeng.wordpress.com/2015/04/25/dia-yang-menanti-suami-di-stasiun-ini/