Judul buku : Sonnenblume
Penulis : Ary Yulistiana
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2014
Tebal : vi + 194 hlm
Penulis : Ary Yulistiana
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2014
Tebal : vi + 194 hlm
Penulis yang sempat muncul dengan novel-novel teenlitnya yang apik,
Ary Yulistiana, kali ini kembali muncul dengan novel romance yang
diterbitkan Grasindo. Sosoknya sebagai seorang guru bahasa Indonesia di
sebuah SMK dan PNS yang cenderung mapan tak memupusnya untuk berkarya.
Novel ini tidak hanya menjadi penanda bagi dirinya tetapi juga dalam
kesustraan Indonesia.
Novel Sonnenblume ini berkisah tentang cinta dan bunga matahari.
Bunga adalah personifikasi untuk keindahan, kecantikan, dan salah satu
simbol kegairahan merayakan hidup. Dari perwujudan dan sifat-sifatnya
itulah sosok bunga matahari memiliki daya tarik yang luar biasa. Begitu
pun sang tokoh, Sekar, menghadirkan bunga matahari dalam hidupnya lebih
dari sekadar entitas tanaman penghias taman. Sekar –sesuai namanya yang
berarti bunga– barangkali tak akan mampu hidup tanpa bunga matahari.
Bunga matahari, tanpa disadarinya menjadi patologis bagi jiwanya.
Kehadiran cinta posesif seorang Ardiansyah, lelaki dari masa kecil
Sekar, adalah perwujudan cinta seorang lelaki yang ingin memiliki
seorang perempuan sepenuhnya. Cinta posesif Ardiansyah mencemburui bunga
matahari milik Sekar. Jika ingin mendapatkan cinta Sekar sepenuhnya, ia
harus memusnahkan bunga matahari dari hidup Sekar.
Ardiansyah mungkin adalah sosok pejuang cinta. Ia melamar Sekar dan
menjauhkannya dari bunga matahari dengan mengajak hijrah ke Kalimantan.
Sebagai gantinya ia memberikan bisnis intan berlian kepada wanita yang
dicintainya itu. Ia menganggap cinta Sekar bisa menjadi miliknya
seorang. Kelak, segala persangkaannya ini menjadi penyiksaan bagi
dirinya sendiri. Rantai cinta yang ia miliki untuk memiliki Sekar justru
telah membunuh perempuan yang dicintainya itu, bahkan kepada anak
turunnya juga.
Pun patologisme kepada bunga matahari itu telah diturunkan pula
kepada anak semata wayangnya, Vairam. Ardiansyah mengetahui akan hal ini
tatkala Sekar mendapat kecelakaan dan meninggal. Kemalangan ini
menghancurkan hati Ardiansyah sekaligus membuat ia makin terluka ketika
mengetahui bunga matahari penyebab Sekar mendapat kecelakaan. Titik awal
itu tatkala Vairam begitu ngotot menginginkan bunga matahari. Selama
ini anak itu hanya mengenal bunga matahari dari gambar dan media visual
saja. Sekar ingin memberikan bunga matahari yang asli kepada anaknya.
Saat itulah ia malah mengalami kecelakaan di jalan yang menewaskannya.
Sejak saat itu cahaya hidup Ardiansyah telah mati. Ia menyadari Vairam
telah menjadi orang yang akan terus dibencinya seumur hidup. Ia pun
membuang anak kandung semata wayangnya itu dengan mengirimnya ke Jawa.
Tepatnya kembali ke Solo, tempat masa kecil Sekar. Ia tak ingin melihat
Vairam yang akan terus menghantuinya dengan bunga matahari.
Narasi sosok Vairam pun menjadi sesuatu yang segar dalam bab terakhir
novel ini. Sosoknya sebagai perempuan mandiri seperti menjadi acuan
dalam masa sekarang. Seseorang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri
dalam bisnisnya yang dilakukan dengan passion dan kegairahan hidup.
Senyatanya begitulah seseorang harus bekerja. Ia memahami apa yang ia
lakukan dengan baik atau tidak mengerjakan hal itu sama sekali.
Suatu saat ia bertemu dengan Marris, seorang pria flamboyan yang
kemudian lebih menyukai Vairam daripada kekasihnya yang juga penyuka
bunga matahari. Marris kelak menjadi pemicu bom waktu sifat patologis
Vairam kepada bunga matahari. Pada akhirnya Vairam harus berakhir di
sebuah rumah sakit jiwa untuk mendapat pengobatan khusus.
Novel ini bertutur dengan apik tentang patologisme dan posesifisme.
Dengan narasi yang cantik dan romantisme yang kental menjadi cerminan
bahwasanya semua harus dicintai dengan adil dan bijaksana. Tak bisa diri
menghaki sesuatu dengan nilai keakuan. Justru ia menjadi penyakit dan
kelak akan menghukum diri kita.
Novel ini seakan ingin mengingatkan kembali tentang hal itu. Nilai
moral menjadi keniscayaan dalam novel ini walaupun tak dihadirkan dalam
bentuk yang terang benderang. Justru hal ini menjadi kelebihan novel
Sonnenblume ini yang seakan tak berkesan menggurui. Memang tak banyak
memang penulis novel yang berani membingkai cinta dalam kisah simbolik
seperti sekarang ini. Semuanya terlampau terang benderang, dan novel ini
menghindari itu semua.
Mungkin saya juga tak bisa menebak tepat dari apa yang penulis
pikirkan. Mungkin bukan niatan membicarakan tentang patologisme kepada
bunga dan cinta posesif yang ingin ia hadirkan. Mungkin lebih dari itu
menimbang pada gejala dan fenomena yang ia hadirkan dalam buku setebal
194 halaman ini. Semua peristiwa dalam novel itu akan menjawabnya
sendiri kepada pembaca. Sesungguhnya sebuah karya prosa mempunyai nilai
tafsir dan intrepetasi yang berbeda dari satu pembaca dengan pembaca
lain. Inilah salah satu keunggulan novel dibandingkan sebuah teks moral.
Tabik.
* Prosais tinggal di Karanganyar. Aktif di Pakagula Sastra.
0 comments:
Post a Comment