Monday 27 April 2015

Ekonomi Kreatif Melawan Bank Plecit

oleh: Andri Saptono

-Solopos, Senin, 27 April 2015
 
Desa dan Bank Plecit
Istilah bank plecit, atau lintah darat dulu lebih masyhur dikenal daripada debt collector. Bank plecit ini biasa berkeliling di desa-desa, menawari pinjaman dengan cepat, dan tanpa administrasi yang ribet –cukup dengan jamiman fotocopy KTP saja. Penampilan mereka pun nyaris stereotif sampai sekarang. Bersepeda motor dan berjaket kulit, bertas slempang, sambil membawa buku kecil tagihan kepada para nasabahnya. Biasanya mereka lebih suka menyamperi ibu-ibu yang bergerombol entah sedang petan kutu atau sekedar nangga. Begitulah realita yang terjadi di desa saya, dan beberapa desa lainnya di Karanganyar.

Desa menjadi tujuan para bank plecit beroperasi. Seperti desa saya, sasaran utama mereka adalah kaum ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah. Bank plecit ini menawarkan pinjaman uang dengan cara tetapi dengan bunga yang mencekik leher. Ibu-ibu yang merasa butuh dana atau kesulitan keuangan dengan mudah menerima pinjaman yang berbunga tinggi ini dan selebihnya masuk menjadi nasabah para setan kredit itu.
 
Pertumbuhan koperasi simpan pinjam baik yang berbadan hukum resmi atau abal-abal semakin banyak di Jawa khususnya. Terutama bank plecit hanya ingin mencari keuntungan dan membuat uangnya beranak pinak. Mungkin ada pertanyaan mengapa bank plecit memilih desa. Kenyataan di lapangan, penghuni desa adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan tingkat ekonomi yang seringkali kesingsal dengan perubahan jaman. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para Bank Plecit untuk memperbanyak nasabah alias menjerat korbannya.  

Bukan Simbiose Mutualisme
Jelas relasi antara bank plecit dan nasabah bukanlah sama menguntungkan (simbiose mutualisme), apalagi dengan keyakinan hendak menolong. Sebaliknya, mereka itu menjerat nasabah dengan gaya hidup suka mengutang. Mereka tak peduli dengan persoalan tolong menolong orang yang kesusahan. Bahkan, tak jarang bank plecit mengancam hingga menganiaya nasabahnya jika ada kredit macet. Ibu-ibu yang terjerat hutang ini dan seringkali hutang mereka tanpa konfirmasi kepada suami, alih-alih menyalakan keributan di rumah. Bahkan, sebab hutang kepada rentenir inilah hampir terjadi perceraian karena suami kaget ternyata istrinya berhutang di belakang, dan jumlahnya tak sedikit. Solo Pos pernah mencatat fenomena ini di sebuah desa Jambon, Gamping, Sleman yang memasang pengumuman “BANK PLECIT DILARANG MASUK DI KAMPUNG INI” karena dampak negatif masuknya Bank Plecit ke desa tersebut (12/4/2012).
 
Kronik lintah darat
Dalam buku sekolah dan prosa pun sering disinggung tentang lintah darat. Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, yang mengetengahkan karakter Datuk Maringgih sebagai seorang rentenir licik. Pun profesi mereka umumnya dibenci dan dianggap sebagai sebuah pengganggu ketentraman dalam masyarakat. Kehadiran mereka seakan hendak memangsa orang yang lengah di antara kita. Barangkali seperti srigala yang hendak menjerat mangsanya.

Tapi, paradigma sekarang bank plecit dan lintah darat mengalami pleonasme menjadi debt colector. Hal ini barangkali seperti pelacur menjadi PSK. Akibatnya, bahkan pengumuman lowongan debt colector (bank plecit) sering kali muncul di iklan koran dan ikut bersaing di bursa lowongan kerja. Apalagi jika ditengok dengan kacamata agama, jelas bank plecit ini haram hukumnya. Selain mereka berpraktek riba juga mencekik leher para nasabah.
 
Masyarakat yang awalnya antipati dengan bank plecit seolah dibisiki bahwa sekarang bank plecit adalah koperasi simpan pinjam yang memudahkan kita berhutang. Bahwa sekarang tidak ada riba, tetapi bunga atau uang administrasi. Jadi, persoalan dosa dan agama adalah ucapan para ustadz atau kyai saja yang berkarakter jumud dan kolot.
 
Menumbuhkan Ekonomi Kreatif Di Desa
Kita yakin bahwa bank plecit apapun namanya adalah persoalan di masyarakat kita. Masyarakat lebih membutuhkan pertolongan secara terstruktur dan sistematis bukan pertolongan instan yang malah mencelakakan, seperti misalnya berhutang pada rentenir. Dari persoalan inilah kita hendaknya bergerak untuk berkarya menumbuhkan ekonomi kreatif di desa. Paradigma desa adalah tempat terbelakang dan ndesa, harus diubah menjadi desa yang peka jaman dan berkarya kreatif. Contoh yang termudah adalah misalnya penempatan bantuan tidak hanya pada sarana dan prasarana infrastruktur desa. Kenyataannya pembangunan itu tidak semuanya teralokasikan dengan tepat atau bisa membuat perekonomian langsung bertumbuh dengan cepat. Andaikan misalnya bantuan digunakan untuk usaha bersama, atau membuat home industri atau misalnya lokakarya di masyarakat desa, akan lebih optimal penempatan bantuan tersebut.
 
Sering terjadi bantuan dari PNPM hanya untuk memperbagus jalan, atau membuat gapura, atau membuat megah Pos Kamling yang malah tidak berfungsi apapun. Atau pengajuan proposal kepada misalnya partai atau badan usaha tetapi hanya untuk membeli perabot bala pecah di kampung. Akan lebih optimal bila dibelikan kambing kemudian dikelola menjadi peternakan kambing fermentasi atau misalnya untuk usaha ibu-ibu di tempat tersebut.

Namun, nampaknya kesadaran semacam ini belum bertumbuh di sebagian desa, terutama di karanganyar. Karena itulah sering terlihat pembangunan infrastruktur yang maju tetapi pemikiran mereka masih pemikiran ndesa yang masih kesingsal dengan perubahan jaman.
 
Akhirnya, bukan hanya sekedar larangan Bank Plecit dilarang masuk kampung saja, tetapi menumbuhkan semangat kreatif dan mengurangi gaya hidup berhutang kepada para rentenir itu adalah sikap yang lebih utama. Apalagi jika sudah sampai pada kesadaran sesungguhnya riba itu berbeda dengan jual beli yang berprinsip mendapat keuntungan dari pihak lain. Hutang menghutang adalah perkara sosial-ekonomi yang tak bisa dihindari. Namun akan lebih bijak jika bisa menghindari dari bank plecit.
 
Industri kreatif tidak hanya berpusat di kota tetapi juga bisa digerakkan di desa. Tentu juga dengan menempatkan SDM masyarakat desa yang positif. Unsur komunal dan sikap gotong royong mereka bisa menjadi energi untuk membangun ekonomi kreatif tersebut. Dan walhasil, masyarakat akan lebih maju perekonomiannya dan tidak kesingsal dengan jaman yang cepat bergerak ini.

Pemerintah pun tidak boleh lupa untuk memberikan program padat karya kepada penduduk desa. Jika selama ini hanya terfokus pada BLSM, maka jangka panjangnya hanya akan membentuk manusia Indonesia yang bermental pengemis. Melulu ingin disubsidi. Padahal juga uang yang diberikan, kadang tidak digunakan untuk kebutuhan yang tepat. Misalnya untuk ganti hape baru, atau malah melunasi hutang ke bank plecit yang sudah menunggu dengan setia.
 
Memang menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang juga diwacanakan oleh pemerintahan Jokowi tidak bisa serta merta. Tidak bisa hanya sekedar mendorong dan menggembar-gemborkan wacana ekonomi kerayaktan di media-media mainstream atau medsos. Akan lebih baik pemerintah memberikan ‘kapak dan cangkul’ kepada penduduk desa untuk bekerja daripada memberikan BLSM yang tidak membuat penduduk desa lebih produktif dalam bekerja.
 
Wallahu A’lam bishshowab

0 comments:

Post a Comment