Saturday 25 April 2015

Cerpen: Dia yang Menanti Suami di Stasiun Ini

Karya Andri Saptono*
-Solopos, April 2015

Perempuan itu selalu datang ke peron stasiun ini setiap senja. Sudah sebulan ini aku menandai perempuan itu selalu datang sendirian ke tempat ini. Dari penampilannya tentulah ia dari kalangan menengah ke atas. Pakaiannya terlihat mahal dan berkelas. Mobilnya pun sedan BMW keluaran Eropa. Tetapi, kedatangannya setiap hari ke stasiun ini membuatnya terlihat aneh dan mencurigakan.
Ah, memang melihat orang cantik yang berperilaku aneh memang menarik. Barangkali ia adalah seorang seniwati. Kau tahu seniman atau seniwati seringkali melakukan sesuatu yang nyleneh bagi sebagian orang, tetapi dari perspektif lain ia ternyata sedang membuat mahakarya besar. Atau barangkali ia seorang peneliti yang sedang mengadakan penelitian di stasisun ini. Tapi, penelitian apa yang dilakukan di stasiun ini? Apakah ada yang istimewa dengan stasiun ini?
Mungkin saja. Stasiun ini banyak diabadikan dalam karya sastra. Aku sering membacanya dalam koran minggu terbitan nasional itu. Atau kudengar juga pernah nama stasiun ini dijadikan sebuah buku novel.
Oh, kau belum tahu nama stasiun kereta ini. Namanya stasiun Biru. Jangan kau tanya mengapa stasiun ini diberi nama Biru. Kulihat juga cat tembok di sini tak semua berwarna biru. Beberapa tanda prosedur komplek yang penting juga berwarna merah. Dan semua tampak wajar seperti stasiun lainnya di Indonesia ini. Tapi mungkin dahulu orang yang menamakannya suka dengan kata Biru. Jadi ia menyebut itu dan begitulah semua terjadi. Dan seperti kata Shakspeare, apalah arti sebuah nama. Aku lebih cocok dengan ungkapan yang terakhir ini.
Kembali ke perempuan itu. Senja ini ia datang seperti biasa. Kupikir aku ingin bertanya sesuatu padanya. Mungkin ada yang bisa kubantu. Maksudku, aku merasa ia seperti mencari sesuatu. Dan bukankah sesama manusia sebagai makluk sosial harus selalu membantu yang lain. Jujur, aku pun tak bertendesi apapun.
Kali ini kudekati ia. Ia sedang menekuri hapenya. Melihat inbok di layar android yang tak lekas dijawabnya.
“Permisi mbak… saya lihat mbak sebulan ini setiap hari ke sini…ehm, apakah mbak ini sedang mencari sesuatu? Mungkin ada yang bisa saya bantu.”
Perempuan itu menoleh. Wajahnya memang cantik. Tapi aku mengalihkan perhatianku dari wajahnya yang rupawan itu. Dan aku sempat bersirobok dengan matanya yang menatapku. Astaga, mata itu tidak seperti melihatku. Mata itu kosong.
“Barangkali ada yang bisa saya bantu. Saya petugas kebersihan di sini.”
Perempuan itu masih diam. Aku masih menunggu jawaban darinya. Dan memang terasa segan jika berbicara dengan seseorang tapi tak ditanggapi. Sepertinya aku yang jadi pengganggu di sini.
“Apakah saya menganggu anda? Maafkan saya kalau begitu. Saya akan pergi.”
Aku berdiri. Tapi aku masih menunggu. Dan memang perempuan itu tak berkata apapun. Aku pun pergi dari tempat itu. Kulirik dari sudut mataku, perempuan itu masih bergeming di tempatnya. Orang-orang di sekitarku tampak berkasak kusuk tentangku.
“Wah, berani juga kau, Man?” si Sudrun tertawa cengegesan. “Kuacungi jempol kalau kamu berhasil dapat nomernya.”
“Jempolmu abuh itu. Tadi aku itu cuma nanya dia. Aku kasihan soalnya. Dia tampak seperti orang bingung. Sudah sebulan ini selalu datang ke peron ini.”
“Ah, masak sih orang seperi dia bingung. Lihat saja orang cantik begitu, tampaknya kelas menengah ke atas. Bukan potongan orang ndeso seperti kita. Alasan kamu saja kan?”
“Tenan! Aku tidak bohong. Mungkin saja dia butuh bantuan.”
Aku teringat tentang mata kosong itu. Hendak kukatakan pada Sudrun. Tapi kurasa tak ada gunanya. Dia lebih suka berpikir ngeres kalau melihat perempuan cantik sendirian.
Selepas magrib perempuan itu pulang seperti biasa. Dalam hati, entah mengapa aku berharap dia akan kembali besok pagi. Aku akan bertanya lagi padanya. Semoga dia mau menjawab sepatah dua patah kata padaku. Ya, barangkali aku bisa membantu jika dia memang butuh bantuan.
Senja itu datang lagi bersama perempuan itu. Atau memang senja tak akan lengkap tanpa perempuan itu di stasiun ini. Ah, aku merasa jadi sentimentil. Kuamati dirinya ia duduk di peron. Membuka hape yang sama. Kali ini ia memakai kerudung hitam, kacamata hitam dan baju terusan yang besar. Ia nampak seperti perempuan religius dengan pakaian begitu. Kubayangkan bagaimana jika ia memakai cadar.
Imaginasiku pergi ke mana-mana. Tapi buru-buru kupenggal. Kembali kuberanikan datang kepadanya lagi. Tak kupedulikan omongan rekan-rekan kerjaku. Biar saja mereka berkata seenaknya.
“Sore mbak…” sapaku.
Perempuan itu masih menekuri hape. Ah, rasanya tak nyaman berbasa-basi dan sok akrab seperti ini. Tapi sudah kutekadkan untuk membuat perempuan itu bicara.
“Boleh saya duduk di sebelah anda?” tanyaku.
Dia masih diam. Aku mencoba memasang senyum. Barangkali ada yang bisa cair dengan senyuman. Tapi sialnya, perempuan itu masih dingin.
Kutekadkan untuk duduk meskipun tak dipersilakan.
“Saya tahu saya mungkin tak sopan ingin tahu urusan orang lain. Tapi kalau anda butuh bantuan atau sedang mencari sesuatu, barangkali saya bisa membantu masalah anda.”
Perempuan itu masih diam. Dia hanya menghela napas. Dan pandangan itu masih kosong.
“Aduh, saya seperti ngomong sama reco ya? Kalau anda tidak suka, lebih baik katakan saja, mbak. Daripada saya dicuekin begini, sakitnya tuh di sini,” kataku melucu menirukan Cita Citata.
Tapi perempuan itu bergeming.
“Baiklah, saya perkenalkan nama saya kalau anda tidak keberatan. Nama saya Paiman. Saya tukang bersih-bersih di sini. Saya sudah berkeluarga, mbak. Jadi anda tak usah khawatir dengan saya. Saya tidak berniat buruk sama orang asing sekalipun. Takut kuwalat mbak. Eh, mbak paham kuwalat kan?”
Si perempuan itu tetap diam.
“Kuwalat itu bahasa Jawa mbak. Semacam karma gitulah. Kalau kita berbuat jahat, pasti kita akan dapat balasan yang jahat juga dari orang lain.”
Aku pun terus bercerita. Apa saja yang bisa kuomongkan.
“Istri saya di rumah jualan pecel, mbak. Dulu jualan juga di stasiun ini. Tapi itu dulu. Sekarang sudah dilarang jualan di stasiun. Yang boleh jualan hanya swalayan di pojok itu saja, mbak. Ya, orang kecil gimana lagi. Sudah jatahnya digusur.”
Dia menatap pada tempat yang jauh menembusi bangunan di depannya. Tak dihiraukannya suara orang lalu lalang di sekitarku. Dan sialnya juga diriku.
“Istri saya itu memang jago bikin pecel lho, mbak. Saya senang setiap hari dikasih lauk pecel. Tapi, anak saya yang bungsu cepat bosan. Dia suka ayam goreng. terpengaruh sama film Upin Ipin itu lho mbak. Mbak tahu kan Ipin Upin…”
Perempuan itu tak menggubris. Kesabaranku hampir habis rasanya.
“Anak saya ada tiga mbak. Dua masih di SD. Sedang yang kecil masih berumur satu tahun. Masih trantanan jalan sama mboknya. Wah, senang sekali kalau saya pulang. Si kecil itu memang menghibur sekali, mbak. Kalau mbak sendiri sudah berkeluarga?”
Perempuan itu sungguh beku. Aku pun tetap dableg. Ini seperti bicara dengan patung saja.
“Baiklah, kalau anda itu tidak mau diganggu saya. Tapi begini mbak, saya mau cerita. Ini cerita terakhir saya dan tolong anda dengarkan. Begini, sudah sebulan ini anda datang ke sini setiap hari. Karena itulah saya penasaran. Daripada mati penasaran, saya pun berniat bertanya pada sampeyan biar saya tak penasaran lagi. Lantas tiga hari saya menyapa mbak itu. Tapi mbak malah tidak menggubris saya.”
Perempuan itu sekilas menatapku. Tapi masih saja perempuan membisu. Aku pun jadi kesal.
“Oalah mbak. Saya percaya anda itu tidak bisu kok. Mbok, ya ngomong to!”
Astaga, perempuan itu tetap bisu. Aku hampir mengumpat padanya. Tapi aku boleh menyerah.
“Baiklah, ini terakhir kali. Kalau anda tak sudi menjawab ya sudah. Pesan saya, tolong hargailah orang yang bicara kepada anda. Beri penghormatan satu atau dua patah kata. Itu cukup kok. Wassalam…”
Aku bangkit berdiri hendak berlalu.
“Tunggu Pak.”
Aku lega. “Oalah, ngomong gitu aja kok lama mbak…”
“Maaf…”
“Baiklah, silakan ngomong ke saya apa saja. Saya akan jadi pendengar yang baik kok.”
“Terima kasih…”
Aku duduk. Menunggunya bicara.
“Silakan…”
“Bentar pak…”
Perempuan itu membuka inbok. “Barangkali ada pesan dari suami saya.”
“Memangnya kemana suami anda?”
“Dia pergi ke Jakarta. Naik kereta Argo Bisnis. Saya ke sini mau menjemputnya.”
“Oh, makanya anda menunggu di sini. Tapi kok setiap hari anda ke sini. Kapan berangkatnya mbak?”
“Tanggal 28 Februari.”
“Tanggal 28.” Aku berpikir. “Itu kan sudah lama. Sekarang ini tanggal 30 maret.”
“Entahlah, saya tidak tahu mengapa ia tidak mengabari saya kalau pulang. Ini juga tidak ada sms.”
Aku mengernyitkan dahi. Bukankah Argo Bisnis yang berangkat tanggal 28 Februari itu adalah yang kereta mengalami kecelakaan naas itu. Jangan-jangan, perempuan ini menunggu suaminya yang sudah mati. Ya, semua penumpang kereta itu meninggal karena kereta terjatuh ke jurang. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
“Saya menunggunya di sini ingin menjemputnya. Tapi, mengapa dia tak mengabari saya kalau sudah pulang.”
Air mataku menggenang. Aku tak tahu apa yang akan kukatakan. Sepertinya sebuah palu besar menghantam dadaku hingga sesak.
“Anda harusnya tak menunggunya lagi, mbak. Suami anda tidak akan kembali.”
Perempuan itu menatapku tajam. Tatapannya penuh kebencian.
“Mengapa dia tidak kembali? Bukankah kereta dari Jakarta akan datang sebentar lagi.”
Belum satu patah kata kujawab. Sebuah tangan menarikku kuat. Kulihat dua orang laki-laki di belakangku.
“Sebaiknya anda pergi.”
Aku bangkit. Kupikir mereka saudara perempuan itu dan tidak suka melihatku dekat padanya.
Dua lelaki itu mengajak perempaun itu pergi. Dan si perempuan itu tak menolak. Sekilas ia melihatku dengan tatapan tak senang.
Aku tak tahu apakah dia kembali atau tidak ke stasiun ini. Kuharap ini terakhir kali aku bertemu dengannya. Tatap matanya yang penuh kesedihan itu mengguncang hatiku. Aku pasti tak akan sanggup untuk bertatapan kedua kalinya sejak saat ini.

*Novelis dan cerpenis.
Bergiat di Pakagula Sastra Karanganyar.

Link: https://atmokanjeng.wordpress.com/2015/04/25/dia-yang-menanti-suami-di-stasiun-ini/

0 comments:

Post a Comment