Sunday 4 August 2013

Cerpen: Hujan Bulan Juni oleh Andri Saptono di Majalah Respon (Edisi Agustus 2013)

Hujan tiris bagai tirai dari langit menjatuhi bumi. Dedaunan basah begitu segar dipandang mata. Anak-anak kecil berlarian di jalanan, menggiring bola menuju ke lapangan. Sorak sorai mereka tak pernah bosan menyambut hujan yang datang di awal tahun baru ini.

Barangkali hanya Laksmi dan si penjual martabak yang berteduh di emper toko yang tutup itu, yang bosan dan benci kepada hujan. Pedagang martabak itu tentu karena hujan menghalangi dirinya menawarkan martabaknya berkeliling ke gang-gang perumahan. Dagangan masih utuh tak berkurang, alamat api dapur tak bisa mengepul. Namun apa yang Laksmi benci dari hujan? Bukankah hujan turun membawa kesegaran. Hujan membasahi setiap tanaman di taman rumahnya hingga bersemi indah. Di kota ini hujan turun tidak terlalu deras, malah cenderung teratur sepanjang tahun yaitu pada bulan tertentu saja. Beberapa orang mengatakan karena masih banyak agamawan yang tinggal dan setiap hari berdoa kepada Sang Maha Pencipta. Sedangkan para akademisi menyimpulkan karena masih banyak hutan dan danau di sekitar kota ini yang menyebabkan siklus alam berlangsung dengan teratur. Adalah pula hal terakhir ini yang sebenarnya membuat Laksmi dan suaminya memilih membeli rumah di pinggir kota ini -karena keindahan danau-danau kecil dimana angsa dan bebek liar masih berkeliaran.

Ya, entah mengapa Laksmi enggan bersahabat dengan hujan. Pandangan matanya menentang dari daun jendela kepada halaman yang basah. Terkadang matanya meluapkan air mata seakan tak dapat membendung lagi kebenciannya kepada hujan itu.

***
Sumi, perempuan bertubuh gempal dan pendek itu merasai juga yang dirasakan majikannya. Ia sesekali melirik dengan iba. Atau ketika sedang membersihkan kamar dan mendapati si majikan di tentang daun jendela memandang tak usai-usai kepada hujan yang rutin menyambangi bumi. Ingin Sumi menanyakan apa yang disedihkan majikannya. Ia berjanji akan membantu sebisanya, meringankan dan menghiburnya. Tetapi hal itu tak pernah terjadi. Senyatanya Sumi lebih takut jika dianggap lancang. Ia tak mau membuat marah sang majikan yang sedang dirundung duka.

Sumi tahu majikannya sedang dirundung masalah yang berat. Ia justru mendengar semua itu dari Nipah, pembantu sebelah rumah ketika belanja sayur pada penjual keliling di depan. Walaupun si Nipah itu memang rajin bicara, dan ia tak selalu suka mendengar yang Nipah ucapkan. Hal itu berbeda ketika Nipah menyebut tentang tuannya yang terlibat skandal korupsi yang menjadi media. Urung Sumi menolak semua berita itu. Justru ia tahu sendiri kalau semua kasak-kasak itu benar ketika ia mendapati sobekan koran kertas pembungkus sayur yang ia temukan. Ada foto majikannya dalam persidangan entah kasus apa. Dikatakan dalam headline besar itu, Bambang Sastrowiyono, tersangka penyalahgunaan korupsi tidak bisa bersidang karena sakit.

Sumi jadi mengerti mengapa Tuan Bambang jarang datang ke rumah akhir-akhir ini. Sudah dua bulan ia tak menengok Nyonya Laksmi, istri keduanya. Nyonya Laksmi menjadi semakin murung. Sumi tahu karena ia juga wanita. Seorang perempuan butuh sentuhan dan kasih sayang suami –walaupun istri kedua. Walaupun si suami sekarang sedang dirundung masalah berat dan harus mengikuti persidangan yang tak henti. Pun seorang istri pasti sangat ingin membantu suaminya, jika sang suami sedang dirundung masalah berat.

Ya, Sumi paham masalahnya tidak sesederhana itu. Tuan Bambang adalah seorang pejabat negara, dan seorang pejabat negara terpaksa harus membohongi publik karena ia berpoligami. Ia tak mungkin pulang saat sekarang dan membuat posisinya makin genting.

Sumi dapat mengenang saat-saat bahagia ketika mereka majikannya di rumah ini. Mereka adalah orang baik dan hangat. Nyonya Laksmi sendiri tak keberatan dengan status istri kedua, bertolak belakang dengan kisah-kisah di media yang mengatakan status istri kedua yang menderita.

Sumi juga yakin kalau Tuan Bambang orang yang baik. Orang yang jujur. Ia tak mungkin menyelewengkan uang negara. Ia pasti dijebak, seperti pernyataannya dalam koran itu. Seperti juga banyak dalam kisah politik, karena si A terlalu jujur, kemudian musuh politiknya membuat konspirasi agar bisa disingkirkan selamanya.

Sumi menghela napas panjang. Ia memang hanya bisa berdoa agar tuan Bambang segera bebas dan bisa berkunjung ke rumah ini. Toh, ia juga hanya seorang pembantu.

***
Ketika Sumi hendak berbelanja ke pasar ia melihat jendela majikannya membuka. Ada bayang perempuan yang menatap pada gerimis yang mulai reda yang kini mulai menguarkan bau ampo dari tanah. Sekali lagi Sumi hanya bisa menghela napas. Makin lama keadaan Nyonya memprihatinkan hati.

Sumi melewati itu semua dan keluar membuka pintu gerbang. Ia berjalan menuju ke sebelah rumah. Mencari temannya sesama pembantu, Yu Nipah. Yu Nipah berasal dari Solo. Ia satu-satunya pembantu terlama di perumahan ini. Hampir enam tahun ikut keluarga Nyonya Ayu Cendawan itu. Konon orang Solo terkenal setia. Tapi menurut Sumi, itu semua terjadi karena Yu Nipah memang punya tabiat ndableg alias tak suka ambil pusing dengan kejadian yang menimpanya, entah itu buruk atau saat disemprot majikan. Ia juga tak perduli jika nanti dimarahi hanya gara-gara suka bergosip. Ayu Cendawan, majikan Yu Nipah, yang banyak membintangi film horor itu juga tak terlalu peduli, alih-alih sangat kompak dengan Nipah. Sering Nipah diajak pergi melancong. Setiap pulang Nipah akan bercerita panjang lebar tentang acara melancongnya yang senang mengunjungi mal-mal dan supermarket.

Sumi mengetuk pintu gerbang rumah Nyonya Ayu Cendawan karena ia sudah janjian tadi. Yu Nipah keluar dengan tas besar siap berbelanja. Wajahnya sumringah seperti biasa. Yu Nipah perempuan kecil bersemangat besar. Anaknya dua sudah lulus kuliah semua, dan dari Yu Nipah mereka bisa sekolah setinggi itu.

“Mau masak apa hari kamu Sum?” tanya Nipah sambil jalan.
“Mau masak garangasem bandeng. Tapi katanya bawang sekarang mahal ya, Yu?”
“Ya, aku juga heran, mengapa bawang bisa selangit. Sekilo naik jadi enam puluh ribu. Katanya, bawang langka lah, musim panen jelek lah. Padahal aku lihat di televisi, banyak kontainer berisi bawang tidak diambil di pelabuhan. Sudah begitu, penyelundupan bawang yang tertangkap malah dibakar sama petugas bea cukai. Apa tidak ada jalan lain yang lebih bijaksana. Mbok, dikasihke orang yang nggak punya, kan malah dapat barokah. Iya kan?”
“Ya, sih. Pemerintah memang aneh. Aku sering lihat di televisi, mereka itu kelihatannya tidak benar-benar tulus mau membantu rakyat. Ya, to?”
“Eh, ngomong-ngomong bagaimana majikanmu? Kemarin muncul lagi di televisi lho.”
Sumi kali ini diam. Tak mau ia berkomentar, seakan ingin sekali ia bisa membela Tuan Bambang.
“Masak aku bohong. Aku kira kemungkinan besar dia pasti ngandang.”
“Aku nggak mudheng soal itu. Mungkin saja begitu.”

Sebenarnya Sumi berpikir lain. Ia merasa kasihan dengan majikannya yang harus ditinggal lama tuan Bambang. Ia jadi mengerti nasib orang kaya itu ternyata macam-macam. Dulu ia mengira hanya nasibnya saja yang nelangsa, menjadi pembantu di rumah orang. Eh, ada banyak hal yang lebih menyedihkan ternyata.
Mereka membelok pada gang menuju pasar, perbincangan mereka berubah. Di depan mereka pemandangan kios berjubel dan ramai orang mengeluhkan kenaikan harga bawang seakan-akan telah mengabaikan nasib Tuan Bambang yang sedang menjalani masa persidangan.

***
Laksmi memandang jalanan basah di depan. Bagi orang lain tentu memandang jalanan selama seharian adalah hal yang sia-sia. Tapi bagi Laksmi tak jemu ia memandangi hujan yang tinggai rinai itu.

Lebih dari itu semua, sebenarnya ia merasa kesepian. Ia tahu suaminya sedang dalam kesulitan dan ia harus tetap sembunyi. Walaupun ia tak tahan melihat suaminya yang beberapa kali jatuh sakit ketika mendapat panggilan sidang. Tak peduli ia sangat ingin memberikan kontribusi yang terbaik bagi suaminya.

Laksmi tahu suaminya bukan orang yang sebejat itu. Suaminya pasti dijebak oleh musuh politik yang lebih licik. Suaminya memang mengakui kalau mendapat kucuran dana itu. Tapi ia tak pernah bersengkongkol dalam kasus penggelapan uang itu. Ia hanya sebagai kambing hitam saja.

Oh, ingin rasanya Laksmi datang ke sana, mendampingi suaminya. Betapa rasa rindunya memukul-mukul dada. Bahkan kalau diijinkan ia ingin menemani tidur di penjara. Berharap bisa memberikan pundaknya kepada suami yang sedang bersedih. Istri pertama Mas Bambang, Mbak Dewi, kelihatannya lebih berat untuk mengurusi dirinya sendiri yang tampak begitu terguncang ketika diberondong pertanyaan wartawan. Suaminya juga pernah mengatakan semua itu padanya. Istri pertamanya bukan tipe perempuan yang bisa tahan dengan goncangan yang berat, walaupun ia seorang perempuan yang baik. Banyak kelemahan yang ada pada Mbak Dewi sebagai seorang istri politikus, seperti yang pernah diungkapkan suaminya.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana ia sangat mengkhawatirkan suaminya. Walaupun suaminya sering menelpon untuk tidak mengkhawatirkan dirinya. Untuk tidak percaya pada pemberitaan televisi sepenuhnya. Ia hanya dijebak. Dan ia bisa mengatasi semua itu dengan mudah.

Namun ditelevisi kabar mengatakan sebaliknya. Musuh-musuhnya gencar menyerang. Pemberitaan media menjadi lebih sengit. Ada kesepian yang mencekam melebih badai dingin dari langit yang menyerbu dada Laksmi.

***
Waktu berlalu bagai larutan awan di langit. Semakin hari berubah dengan cepat. Seperti pagi yang hilang oleh hujan. Seperti sore yang menjadi gelap karena mendung. Laksmi telah melihat berita terakhir itu sambil tergugu di kamar. Ia tak dapat menahan tangis saat suaminya divonis dengan hukuman sepuluh tahun penjara.
Suami tadi juga menelpon. Menyampaikan permintaan yang tak sulit ia lakukan, walaupun ia percaya itu dilandasi itikad baik untuknya.

“Aku tahu ini semua sangat berat bagimu. Aku sangat mencintaimu. Barangkali dengan jalan begini semua akan berjalan dengan mudah baik untukku maupun untukmu. Kamu pasti tahu posisiku sekarang.”

Laksmi tak menangis justru pada saat ini. Ia hanya merasa sedih tak bisa berperan sepenuhnya untuk mendukung suaminya saat sedang hancur lebur.

“Aku dijebak. Dan aku tak bisa mengelak karena ikut menerima uang haram itu.”
Laksmi mengais air mata itu dengan pelan dan mendengar penuturan suaminya tanpa menyela sama sekali.
“Pengacaraku akan membantu proses perceraian itu dengan cepat. Percayalah aku tak akan berlepas diri. Bahkan rumah itu sudah berstatus namamu. Kau bisa tinggal selama engkau mau. Atau kau mau jual, terserah..”

Laksmi kembali menatap hujan yang telah reda dan tinggal sisa gerimis. Di tengah gerimis turun kali ini ia berdoa berharap semua musibah ini akan berlalu. Berharap hujan menghapus semua kesedihannya dan dosa-dosa suaminya seperti fajar yang mengusir mimpi buruk semalam.

Namun, mampukah hujan bulan juni melakukan hal terakhir ini?

0 comments:

Post a Comment