Dengan judul asli Karanganyar Bukan Impian Semusim
Pemimpin baru Karanganyar Juliyatmono dan Rohadi Widodo (Yu-Ro)
ditetapkan sebagai pemenang Pilkada akhir September lalu oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Wahyu pulung konon telah memilih dan manjing pada Sang satria piningit. Namun satria piningit sekalipun tidak begitu saja kalis nirsambikala,
terhindarkan dari marabahaya, dan tidak tersentuh godaan berbuat
kesalahan selama memimpin pemerintahan. Atau bahkan menganggap remeh
persoalan dan masalah yang diwariskan dari pemimpin sebelumnya.
Sebaliknya pemimpin terpilih harus tetap berbenah, harus tetap belajar,
membangun dan mewujudkan cita-cita menuju Karanganyar menuju kota modern
yang dinamis dan mempunyai integritas, yang memayu hayuning bawono.
Ada kaidah untuk mengedepankan menerima kritik daripada pujian. Hal ini dilakukan agar pemimpin tahu dan bisa menyelesaikan agar tiap masalah tidak menjadi api yang lebih besar dan bisa menghapuskan semuanya. Sebagai contoh pemimpin yang mau membuka telinga kepada rakyatnya adalah ketika Umar bin Khathab terpilih menjadi seorang amirul mukminin (orang yang dapat dipercaya), maka dia berpesan kepada rakyatnya, agar jika dia buat kesalahan segera diluruskan dan jika dia berbuat yang menyalahi peraturan untuk diingatkan. Hal ini pun terjadi ketika dia berkhotbah, maka saat itu ada seorang perempuan yang berani menyela. Umar meradang.
Karanganyar pun harus selalu berbenah wajah untuk menjadi kota yang peka zaman. Pelayanan publik harus ditingkatkan dan makin profesional. Birokrasi juga harus mulai terbuka untuk menjadi isyarat akan kemajuan yang lebih signifikan dan komprehensif. Dan hal ini mestinya harus didukung sepenuhnya seluruh jajaran aparat pemerintahan di Karanganyar dan seluruh masyarakat, agar cita-cita pembangunan bisa terwujud. Janganlah tetap menjadi bebal sebagai kota kabupaten yang dikritik karena pengeluaran APBD yang besar untuk para pegawai sebesar 75 persen. Padahal jika mengacu konsep pada pajak sebagai zakat. Maka para pegawai itu sebenarnya adalah para pengelola zakat (amil) tersebut. Dan para petugas zakat atau amil, mendapat bagian dari pengelolaan itu sebesar sedikit saja untuk dirinya, bukan malah 75 persen anggaran APBD habis untuk pembayaran gaji pegawai.
Peran kota sebagai pelindung dan maesenas cagar budaya jangan kalah dan teriming-imingi oleh kapitalisme. Sebaliknya, juga jangan mengorbankan nilai-nilai kemaslahatan masyarakat hanya demi nguri-nguri tradisi yang sudah ketinggalan zaman. Demi tradisi malah menjadi kota yang bebal akan kemajuan zaman hanya untuk mengais kejayaan masa lalu lewat peninggalan purbakala lainnya demi sekedar eksotisme berdebu dan pencitraan belaka. Atau terus bernafsu menawarkan inovasi karya baru yang gagap belaka namun kosong isi? Yang sejatinya semua tadi jauh dari kemaslahatan masyarakat.
Ya, ternyata tidak semua pagelaran dan festival budaya itu memberikan semangat dan ghirah kepada Karanganyar yang mempunyai misi memayu hayuning bawono. Justru semakin banyak karya digelar, kita harus selektif karena diakui beberapa karya dan festival budaya yang kerap terjadi hanya bentuk kelatahan belaka, epigonisme dan sikap oportunis penyelenggara. Biar pun bila hendak jujur, kita akan banyak melihat pameran, eksibisi jalanan atau pasar malam yang rutin diadakan dan berbagai pemborosan lainnya yang mengatasnamakan tradisi dan selebritas tahunan, bila kita lihat lebih detail dan hitung lagi dengan cermat, akan banyak menimbulkan kesangsian bahwa semua itu sesuai dengan modernitas kota. Jika sebuah jiwa masyarakat pada sebuah kota lebih banyak digencar dengan event seperti itu, nyaris kota Karanganyar akan tertidur dalam pesta pora belaka, jauh tertinggal dari makna kemajuan pembangunan.
Dalam hal ini kita bisa berkaca kepada China atau Jepang dalam penataan kota yang mampu menyeimbangkan antara semangat modernitas dan spiritualitas. Contoh sederhana adalah masalah sampah. Kita tahu masalah kebersihan tak pernah terlepas dari faktor iman dan spiritualitas. Orang Jepang, bisa bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, tidak menyusahkan orang lain bahkan ketika membuangnya. Sikap dan etos kerja mereka telah terdidik dengan disiplin yang tinggi. Dan semua itu tak akan kita dapatkan dari sebuah keramaian dan intensitas pagelaran, yang cenderung meninggalkan sampah di mana-mana.
Kemaslahatan
Selain itu harus ada ‘pembelajaran’ tentang peraturan atau undang-undang yang mengatur kegiatan masyarakat bersama entah itu penggunaan jalan raya atau ruang publik lainnya demi saling memberi manfaat. Tentu semua itu tak akan terjadi jika tak dibarengi dengan percepatan ke arah peningkatan intelektual masyarakat. Ya, Karanganyar jangan hanya menjadi kota pagelaran atau tempat hiburan belaka. Jadikan Karanganyar sebagai kota pembelajaran. Jadikan Karanganyar sebagai tempat kita menjadi lebih beriman kepada nilai-nilai kebajikan yang universal.
Menurut Emil Salim, pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Lebih jauh kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. (Yayasan SPES, 1992 :3). Hubungan harmonis antara City dan Citizen menjadi filosofi dasar terciptanya keberlanjutan suatu kota. Tidak bisa dipisahkan pembahasan keduanya dalam perencanaan dan pembangunan suatu kota. Meskipun dalam kenyataannya tidak bisa seideal filosofi dasar tersebut. (Budihardjo, 1999)
Dalam regulasi pengaturan tata kota serta pembangunan di dalamnya hendaklah Karanganyar memberikan ruang yang adil kepada penduduk kota dan para pengembang (investor). Pengaturan pedagang kaki lima (PKL) yang menggasak trotoar jalan harus dibenahi. Memberi ruang kepada mereka namun juga tidak membiarkan PKL liar menjadi variable masalah bagi pembangunan kota. Dan kondisi parkir di sepanjang jalan utama yang merebut bahu jalan yang nyaris akan terus meningkat di kota Karanganyar ini. Sudah saatnya Karanganyar menciptakan rencana yang proporsional untuk membangun lahan parkir yang permanen di setiap titik kawasan utama di kota Intan Pari ini agar tidak terlambat seperti di kota-kota lain yang bernasib kesulitan untuk permasalahan parkir.
Para pemimpin Karanganyar juga harus makin diingatkan menjadi tugas bersama selain menuntut rakyat untuk kerja samanya untuk memberikan contoh dan teladan di depan (ing ngarso sung tuladha tut wuri handayani). Supremasi hukum harus ditegakkan. Jangan menjadi pemimpin yang kerdil. Dan tidak lupa pembangunan kota Karanganyar di segala aspek harus di tangan orang yang ahli karena Karanganyar bukanlah impian semusim atau seumur usia bupati yang menjabat di dalamnya. Tapi nyatakan ia sebagai sebuah kota yang terbuka bagi kemajuan zaman dan peningkatan intelektualitas warganya.
0 comments:
Post a Comment