Thursday 12 September 2013

Opini: Pemimpin Peduli Pendidikan oleh Andri Saptono di Joglosemar (21/08/2013)

Perpustakaan seakan tidak lagi kompeten untuk jaman edan (Kalatida) sekarang ini. Seperti yang dinujumkan Ranggawarsita, yen ora ngedan ora keduman. Ilmu pengetahuan di bumi pertiwi ini kalah pamornya dengan kekuasaan uang. Ada ungkapan bahwa di jaman ini tidak diperlukan lagi orang cerdas, namun cukup orang bejo saja. Wong pinter kalah karo wong bejo. Hal ini didistorsi lebih parah lagi terutama dalam memilih seorang pemimpin. Contoh praktisnya, ketika pesta demokrasi berlangsung untuk memilih pemimpin, entah itu Pilgub, Pilbup, Pilkades, suara masyarakat masih tetap sama memihak pemimpin yang royal membagikan uangnya. Hal ini senyatanya memang hampir rata terjadi dan menjadi penyakit kronis bangsa ini.

Perpustakaan di Kota Intanpari
Setelah beberapa kali nomaden dari GOR Ki Ageng Serang dan gedung pinjaman Kodim Karanganyar, Perpustakaan Daerah itu menduduki gedung bekas RS lawas. Tempat ini nyaris tak terlihat sebagai perpustakaan. Pengunjung mulai menurun drastis apalagi jam kunjungan yang dulu sampai jam delapan malam, kini terbatas sampai jam enam. Sangat kontras sekali dengan pembangunan ruang publik lain yang kini sedang digalakkan Karanganyar. Demi membuat ruang terbuka di alun-alun Karanganyar, gedung perpustakaan dan gedung informasi kota itu sekarang dirobohkan. Sementara perpustakaan harus menghuni bekas gedung rumah sakit lama, yang konon berhantu.

Namun sebenarnya bukan tentang gedung berhantu itu yang harus kita khawatir dari masyarakat buku Karanganyar. Apa yang menjadi lebih mendesak adalah membuat sebuah gedung perpustakaan mandiri. Dengan sistem otonomi daerah seharusnya Kepala Daerah atau Bupati bisa menghidupkan perpustakaan sebagai wahana pendidikan bagi publik. Hal ini sudah terjadi di Wonosobo. Di sana, perpustakaan dijadikan sarana umum yang nyaman, dirawat, dan disesuaikan dengan keadaan jaman yang modern. Bukan terbatas perbaikan gedung perpustakaan saja, tetapi juga mendudukan peran perpustakaan terdepan sebagai agen pencerdasan bangsa.

Namun kiranya apa yang saya katakan itu masih harus menjadi impian semu atau terpasung dalam seremoni birokrasi. Acara 14 jam membaca buku tanpa berhenti dan kisah pembaca buku terbanyak yang dilakukan di Karanganyar pada tahun kemarin, hanya sekedar ingin tercatat dari MURI (Musium Rekor Indonesia). Slogan gerakan ayo menulis, ayo berkunjung ke perpustakaan laiknya tong kosong berbunyi nyaring. Acara Road Show Perpustakaan Nasional yang berlangsung di pendapa bupati Karanganyar, itupun tak tergarap baik, terkesan hanya untuk menghabiskan anggaran tahunan, dan diwarnai penyelewengan dana yang seharusnya diberikan kepada peserta yang hadir sebagai uang transport ternyata tak diberikan, berikut sertifikat dari perpustakaan nasional yang dijanjikan.

Kota Anturium Jemani
Kita masih ingat bahwa Jemani, atau anthurium Jemani sempat booming gila-gilaan, sebagai daun termahal di Indonesia, dan itu lahir dari Karanganyar. Semua orang seakan tersihir dan percaya begitu saja bahwa memang daun jemani itu patut dihargai melebihi harga emas-perak. Sementara itu ritual Pilbup, pemilihan Bupati setiap lima tahun sekali itu yang akan dilaksanakan tanggal 22 September 2013, pastilah menelan biaya yang sangat mahal demi memilih pemimpin yang pro rakyat. Dari kedua hal ini, orang mau melakukan apa saja dan menjadi partisipan di dalamnya. Namun mengapa kisah perpustakaan daerah dirobohkan dan dipencilkan tempatnya, seakan menjadi biasa saja.

Saya pribadi berharap nasib perpustakaan akan berubah setelah Pilbub nanti karena tidak mungkin berharap pada pemimpin sekarang ini untuk berbaik hati mengurusi perpustakaan yang malah mereka robohkan untuk sebuah open space yang tak bermutu. Saya ingin ke depan Karanganyar punya pemimpin yang peduli dengan pendidikan rakyatnya dan peduli perpustakaan. Walaupun mesti diakui di Indonesia sangat jarang bahkan langka dalam sebuah Pilkada ada kandidat yang demi menarik simpati masyarakat, mencoba menggairahkan kegiatan membaca di perpustakaan. Jangankan kegiatan yang tak populis itu, membantu pembangunan sebuah perpustakaan saja, itu sudah sangat langka. Bahkan, ironi perpustakaan di Karanganyar itu lebih menusuk lagi. Di kota Intanpari ini hanya mempunyai sebiji pustakawan saja. Lantas, bagaimana bisa kita berharap pada satu orang untuk mengubah atmosfer di Karanganyar menjadi kota yang gemar membaca, atau lebih jauh lagi bercita-cita menjadi kota pelajar.

Bersinergi dengan komunitas buku
Sebenarnya masyarakat Karanganyar bisa belajar pada tetangganya yaitu Solo. Ketika Taman Budaya mandeg menerbitkan lagi buletin sastra dwi bulanan Littera itu, beberapa komunitas sastra tidak banyak terpengaruh dengan keadaan itu. Mereka masih bisa berharap pada kesolidan komunitas yang mereka jalankan. Seperti misalnya Pawon, sebuah komunitas sastra yang cukup terkenal di Solo, terus bergeliat membuktikan bahwa budaya literasi Solo masih tetap tinggi. Kota Solo tak berhenti pada bayang-bayang penulis senior dulu semisal Umar Kayam, Rendra, Remi Silado, namun terus menumbuhkan penulis dan sastrawan baru lewat kegiatan dan agenda literasi yang mereka galakkan. Dan lewat Balai Soejadmoko mereka rutin mengadakan bedah buku, diskusi, bahkan kemarin sempat mengadakan festival Sastra, walaupun ekspetasinya tidak seperti yang mereka harapkan.

Lewat komunitas-komunitas seperti itulah sebenarnya perpustakaan bisa bersinergi bersama untuk membuat atmosfer baca di Karanganyar bertumbuh-kembang. Di Karanganyar sendiri ada beberapa komunitas yang masih tetap eksis mendukung perpustakaan walaupun tidak seaktif tahun-tahun kemarin. Ada Tascakra (Komunitas Pembaca Karanganyar) yang kemarin memberi bantuan buku kepada perpustakaan Karanganyar. Ada juga Sastra Alit dan Pakagula Sastra yang selama ini bergerilya mencoba menyebarkan virus membaca dan menulis untuk menyokong jaman yang mulai pikun. Mereka yang diawaki beberapa gelintir orang menolak untuk menjadi orang biasa, mereka ingin menjadi agen kebudayaan walaupun masih dalam lingkup sangat kecil dan nyaris tak diperhitungkan. Harapan merekalah yang seharusnya kita dukung dan sokong, agar kelak dari Karanganyar lahir-lahir penulis hebat yang menginspirasi Indonesia, budayawan yang cinta kepada bangsa, atau para pemikir-pemikir yang tak terjebak pada kisah birokrasi dan parlementer yang penuh korupsi.

Dan jika kita mau membuka mata, justru pemerintahan akan berjalan dengan lancar dan langgeng dengan peran serta masyarakat yang cerdas. Partisipasi mereka baik itu dana, tenaga, pikiran saya yakin akan menjadi sebuah nyala untuk keberlangsungan pembangunan ke depan untuk menjadikan Karanganyar lebih maju.

Peran pemerintah sendiri juga harus aktif. Mereka seharusnya seperti ayah yang membesarkan anak-anaknya dalam kehidupan kebudayaan. Mereka hanya boleh bangga akan karya anak-anak mereka tanpa mereduksi keberlangsungan kreativitas anak-anak mereka.

Adapun selama ini perpustakaan daerah memang bukan sebuah tempat yang ideal atau representatif untuk mencari bahan kebudayaan. Padahal kemajuan bangsa ditandai dengan kemajuan budaya terutama budaya tulis warganya. Hal ini selalu berbanding lurus dengan tingkat intelektual dan pendidikan warga tersebut. Pada beberapa point hal ini membuat kesadaran para warga untuk lebih menaati peraturan dan menjaga ketertiban yang dilangsungkan dalam koridor kemajuan bangsa. Para pelaku budaya adalah agen utama yang menggerakkan warga untuk bersinergi menjadi pelaku aktif kebudayaan itu sendiri. Politik bisa menjadi alat yang lebih berguna dan bermanfaat karena warga lebih melek politik dengan tingkat kepahaman yang lebih baik jika budaya tulis menulis juga sudah maju. Politik tidak akan menjadi slogan dan jargon di ruang kosong, karena semua terkonsep dan bisa menjadi rujukan bagi langkah-langkah warga sipil.

Akhirnya, sebentar lagi ketika Karanganyar akan melaksanakan pemilihan Bupati, saya berharap Karanganyar akan mendapatkan seorang pemimpin yang mempunyai kepedulian dengan perpustakaan dan masyarakat buku di bumi Intanpari ini. Pemimpin seperti itu, tentulah seorang pemimpin yang cerdas yang siap menerima kritik dan saran dari rakyatnya. Pemimpin yang tak hanya pamer popularitas karena royal memberi bantuan kepada masyarakat saat menjelang Pemilihan Bupati nanti.

Syair Ranggawarsita akan selalu relevan di jaman Kalatida ini.
Sakbegja begjane wong lali luwih becik wong kang eling lan waspada….

0 comments:

Post a Comment