Sunday 10 November 2013

Cerpen: Ibu vs Nenek Jahat oleh Andri Saptono di Joglosemar (10/10/2013)

Kisah Ibu vs Nenek Jahat. Terinspirasi dari novel The Caramelo by American author Sandra Cisneros. Tentu saja dengan rasa dan pribadi yang paling dekat dari diriku. Selamat menyimak.

Dimuat Joglosemar edisi 10 Oktober 2013

Kematian Nenek jahat di subuh itu memang tak mengejutkan siapa-siapa. Kami yang merupakan keluarga Nenek selalu menganggap bahwa hanya kematian yang membuat jiwa Nenek yang gelisah dan tiba-tiba menjadi jahat pasca sakit stroke yang menimpanya itu adalah pintu gerbang ketenangan untuknya di alam akhirat. Namun, ada yang membuat kami heran, hampir mendekati sebuah rasa ketertakjubkan sebenarnya saat mendapati Nenek memejamkan mata selamanya itu. Ya, kami tak habis pikir akan bisa mendapati sebuah senyuman di wajahnya, senyum lebar dan ikhlas, seolah-olah Nenek jahat tengah merasa bahagia menyambut dunianya yang baru. Hal ini jelas tak sama dengan bayangan kami yang mengira kematian Nenek akan menjadi sebuah melodrama yang memilukan. Dipanggang rasa sekarat dan kebencian yang merasuki umur-umur tuanya itu, yang membuat ia tersengal-sengal ketika sakaratul maut.

Ah, kehidupan Nenek selalu menjadi misteri bagi kami. Nenek mempunyai perangai yang sulit kami mengerti dan sulit kami pahami. Sejak sembuh dari sakit stroke perilakunya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia bisa sangat kejam kepada siapapun, termasuk kepada anak-anaknya. Nenek juga memilih hidup sendiri dan menolak tinggal dengan anak-anaknya. Ia mengerjakan semua sendiri di rumahnya di desa; mencari kayu bakar di kebun dan menjemur kayu-kayu itu di halaman untuk kemudian dipakai memasak di pawon . Anak-anaknya yang sudah putus asa menyuruh Nenek ikut tinggal bersama mereka hanya diperbolehkan membawakan beras dan sayur setiap bulan.

Aku pernah diajak Ibuku mengantarkan catu saat Ayah sedang dinas keluar kota. Ibu satu-satunya menantu yang mau pergi ke rumah Nenek. Semua menantu yang lain tak berani atau pura-pura sibuk, karena enggan berhadapan dengan Nenek yang mereka sebut sudah maleh –untuk tidak mengatakan bahwa Nenek sudah hilang kewarasannya.

Saat kami datang itu Nenek sedang tak di rumah. Mungkin sedang mencari kayu bakar di kebun seperti biasa. Kami bisa masuk ke dalam rumah karena pintu tak terkunci. Menurut cerita Ibu, nyaris tak ada tetangga yang mau bergaul dengan Nenek karena mereka menganggap Nenek sudah tidak waras dan berbahaya.
Ibu menyuruhku membuka semua pintu dan jendela untuk membersihkan rumah tua ini, agar ‘hantu-hantu’ dari kegelapan rumah ini pergi. Sungguh sulit membayangkan ada orang tinggal dalam kamar yang serba berantakan dan pengap seperti kuburan ini. Di meja tergeletak segelas teh sisa yang sudah dingin. Mungkin teh kemarin sore yang belum dibawa ke tempat cuci. Sarang laba-laba menghiasi di sudut-sudut ruangan menjadi hiasan abadi interior rumah tua ini.

Iseng kunyalakan radio transistor tua di atas lemari yang sudah diselimuti debu. Suaranya kemrosok. Kucari chanel musik pop kesukaanku.
“Kita bawa ke loundry saja Bu? Nggak usah repot-repot mencuci,” kataku saat Ibu keluar dari kamar sambil membawa kain pesing milik Nenek.
“Kita punya waktu seharian di sini. Ayo bantu Ibu bawa ini ke belakang untuk dicuci. Jangan hanya main-main dengan radio tua itu,” gerutu Ibu.

Terpaksa kutinggalkan radio kemrosok yang mulai menyiarkan lagu-lagu nostalgia. Kuminta kain pesing yang dibawa Ibu dan kubawa berlari ke belakang karena tak tahan. Astaga! Di sumur pun sudah menumpuk piring kotor yang mungkin seminggu belum dicuci.

Aku dan Ibu juga bekerja keras mengeluarkan kasur dari kamar untuk dijemur. Bau pesing dengan segera menguar menusuk hidung membuat aku mau muntah.
“Ibu harusnya membelikan pampers bayi untuk Nenek!” gerutuku.

Kasur kami jemur di halaman tanah dengan beralas tikar. Ibu tidak puas. Ia meminta semua barang dikeluarkan dari dalam untuk dicuci. Terpaksa aku menuruti perintah Ibu karena tak ada pilihan.
Saat tengah hari Nenek akhirnya pulang. Nenek sama sekali tak menggubris sapaanku. Sebaliknya wajahnya merah padam, alamat kemarahan yang membakar dirinya.
“Mana Ibumu?” tanyanya sengit.
“Sedang di belakang mencuci Nek?”
Aku sudah bisa menebak bahwa ia berang melihat perabot rumahnya dibongkar habis-habisan.
“Mencuci apa? Siapa yang menyuruhnya mencuci di sini?”

Aku menghela napas. Nenek masuk ke dalam. Sebentar menyusul suara bentakan dan bantingan benda pecah belah di dinding. Aku segera bangkit, khawatir Ibu akan dipukul oleh Nenekku yang kurang waras itu.
“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku.
“Cucian yang penting sudah selesai,” kata Ibu tak benar-benar menanggapi pertanyaanku. Aku bersyukur tak terjadi sesuatu yang buruk. Kulihat sebuah piring hancur berantakan di dekat kaki ibu.
“Kita pulang sekarang, Bu?” ujarku sambil melihat Nenek tak senang. Tak habis pikir mengapa Ibu bisa krasan ke rumah ini. Padahal setiap kali ia datang ia hanya akan mendapat omelan dan caci maki.
Tapi Ibu malah kembali menyuruh memasukkan kembali kasur ke dalam kamar. Saat kami berdua menggotong kasur tiba-tiba Nenek muncul di pintu memukul kasur itu dengan sapu lidi.
“Siapa suruh kalian menjemur!” Suaranya menggelegar bagai petir di siang bolong. Matanya melotot tajam.
Aku merasa ingin marah. Sudah capek, tapi dasar Nenek tak tahu terima kasih! Namun astaga, Ibu tetap mengajakku memasukkan kasur ke dalam kamar.
“Apa kalian tuli?!”
“Aku yang akan mengangkatnya sendiri!!” bentaknya lagi.
Aku sangat dongkol dengan sikap Nenek. Ibu sendiri tetap mengabaikan. Setelah selesai merapikan kamar Ibu baru mengajakku pulang.
“Kami pulang dulu. Jaga diri Nenek baik-baik,” kata Ibu seolah tak pernah mendengar semua semprotan kemarahan itu.
Nenek jahat tak menjawab. Singkapnya angkuh. Sapu lidi itu ia buang dengan kesal lalu masuk sambil membanting pintu kamar.
Di perjalanan pulang Ibu tak bicara. Kupikir Ibu kecapekan dan aku juga luar biasa capek bersih-bersih rumah tua itu.
“Apa Nenek benar-benar sudah gila?” tanyaku pada Ibu yang setengah terpejam.
“Tidak usah pedulikan kata orang. Hanya saja ia memang terlalu keras kepala. Tidak mau dibantu siapapun. Kau juga lihat ia bisa mengurus dirinya sendiri. Itu berarti Nenekmu masih waras.”
“Hanya Ibu yang tahan mengurus Nenek? Kenapa anak-anaknya yang lain tidak mau menengok?”
“Mereka mungkin sibuk dengan pekerjaan. Sudahlah, jangan banyak tanya lagi. Ibu capek. Ibu mau tidur.”
Melihat Ibuku seperti itu aku jadi memikirkan kembali tentang Nenekku itu. Ayahku sendiri tak banyak bercerita tentang Nenek. Pekerjaan Ayah yang sering keluar kota mengasingkannya dari keluarga. Pun saudara Ayah yang berjumlah tiga, satu laki dan yang paling sulung perempuan juga sama sekali tak dekat dengan Nenek. Hanya Ibulah yang paling dekat dengan Nenek meskipun terus diomeli setiap menengok ke sana.
Minggu berganti minggu. Akhir bulan datang dimana kami pergi ke rumah Nenek untuk mengantar bahan makanan.
“Apa kau ada kuliah hari ini?”
“Ya Bu. Tidak bisa kutinggalkan. Nilaiku agak jatuh.”
“Ya sudah. Biar Ayahmu yang mengambil cuti besok. Kalau terlambat aku akan makin segan berhadapan dengan Nenekmu. Setidaknya dia bertambah alasan untuk mengomeliku. Akhir-akhir ini Nenekmu sangat marah kalau Ibu terlambat datang.”

Akhirnya Ayah dan Ibu yang ke rumah Nenek. Aku berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah tambahan yang memang kuperlukan. Namun di kampus pikiranku terbayang tentang Nenek jahat. Terbayang perangainya yang aneh serta sikap Ibu yang kelewat tabah menghadapi Nenek sendirian.
Saat pulang kuliah aku terkejut mendengar kabar Nenek mendapat serangan stroke karena jatuh lagi di kamar mandi.
“Kenapa tidak dibawa sekalian ke sini Bu?”
“Dia tak mau,” jawab Ayah terdengar putus asa.
Ibu terlihat mondar-mandir. Aku jadi berpikiran kalau sakit Nenek kali ini memang sangat keras karena melihat semua tegang.
“Bagaimana kalau aku yang tinggal di sana menemani Ibu?” usul Ibu tiba-tiba.
Ayah menatap lekat-lekat istrinya itu sambil menghela napas. Aku sendiri juga kaget Ibu memutuskan hal itu. Ibu menyentuh bahu ayah, memohon. Sebuah hal yang sangat sulit kupercayai setelah perlakuan Nenek lakukan selama ini padanya.
“Aku akan pulang setiap minggu. Biar Andi yang menjemputku nanti.”
Ayah nampak menimbang sebentar. Ia terpaksa menyetujui.
Sore itu saudara-saudara Ayah dan istri mereka berkumpul di rumah membicarakan bagaimana cara merawat Nenek yang makin kritis. Termasuk membahas kemungkinan ibu yang harus di sana untuk waktu lama.
“Kita bisa berbuat apa? Ibu sendiri memaksa hanya mau dengan Sri?” kata Paman Dullah.
“Iya Mas. Sementara biar Sri di sana sampai keadaan ibu mendingan. Baru saat itu kita ke sana,” timpal Metri, adik Ayah paling sulung.
“Ibu tidak akan sembuh. Kakinya patah dan ia menolak dibawa ke sangkal putung . Apa kalian paham?” tukas Ayah terlihat kesal saudaranya seperti cuci tangan.
“Bagaimana kalau aku ikut menemani ibu di sana,” usulku membuat semua menatap heran. “Aku sudah sering ke sana dengan Ibu dan sering ketemu dengan Nenek.”
Ayah memandangku. Sekali lagi ia hanya bisa menghela napas karena aku bersikeras.
“Baiklah, kalau kau ke sana jangan malah merepotkan ibumu,” pesannya.
Akhirnya aku berangkat untuk menemani Ibu. Kubawa pakaian sekedarnya. Tak lupa laptop dan semua peralatan kuliah.

Ibu senang aku datang menemani. Keadaan rumah Nenek jauh lebih bersih daripada dahulu. Sering kulihat Ibu berbicara dengan tetangga sebelah yang berbatas pagar bambu. Mereka adalah orang-orang desa yang ramah.

Namun malam itu Nenek mengigau dan demamnya tinggi sekali. Nenek terus meracau. Aku disuruh ibu memasak air panas untuk mengompres. Kadang dalam igauannya Nenek meminta maaf kepada Ibu atas perlakuannya yang keras selama ini. Hal itu membuat ibu tak kuat membendung air matanya.

Akhirnya setelah kerja keras kami yang semalaman tak tidur, kira-kira jam setengah lima keadaan demam Nenek sudah mulai turun. Tinggal kami berdua yang sebentar-bentar menguap karena belum tidur sama sekali.
Kami berdua keluar ke halaman untuk menghirup udara subuh yang segar, penat semalaman berjaga.
“Udaranya segar,” kata Ibu tersenyum. Nyaris tak terlihat raut kelelahan pada wajah ibu membuat aku bertambah kagum.
“Dulu Ibu biasa bangun pada pagi seperti ini di tempat ini sambil menunggu matahari dari balik gunung. Sangat indah sekali.”
“Apa Ibu dulu tinggal di desa ini juga?”
Ibu tersenyum. “Sebenarnya aku adalah anak angkat Nenekmu. Sebelum Nenek mendapat kecelakaan itu, Nenekmu dikenal sebagai sosok yang ramah dan baik hati. Ia juga dermawan. Anak-anak suka ramai main ke rumah ini agar mendapat jatah buah pisang darinya. Namun setelah sakit, perangai Nenek berubah. Orang-orang menjauhi karena Nenek suka curiga dan memusuhi mereka, termasuk anaknya sendiri. Hanya aku yang berani mendekati Nenekmu walaupun dia tak henti-hentinya bicara kasar.”
Kulihat sudut mata ibu tergenang air mata. Baru aku mengerti alasan ketabahan Ibu merawat Nenek selama ini. Begitupun aku kagum dengan pengorbanan ibu yang benar-benar tulus daripada sekedar berdalih Nenek sudah tidak waras kemudian menjauhi seperti yang dilakukan saudara-saudara ayah lainnya.

Ya, kita memang tak bisa meminta takdir yang kita hendaki. Orang yang kita cintai terkadang membenci kita. Sebaliknya orang yang kita benci ternyata mempunyai cinta yang lebih tulus dari siapapun di dunia.
Namun takdir Allah jua yang berkuasa atas kami. Menjelang matahari terbit Nenek meninggalkan kami selamanya. Aku sempat mengira ia hanya tidur lelap. Tapi bibir yang ajeg mengelupas senyum itu membuatku curiga dan bergegas kupanggil ibu. Nenek jahat ternyata telah meninggalkan kami dengan diam-diam. Dan kepadanya satu hal yang selalu kukenang untuk seseorang yang di akhir hidupnya berperangai jahat pada anak-anaknya, senyum Nenek ketika meninggal itu sungguh kemurahan Tuhan Yang Maha Pengasih yang hendak disampaikan kepada kami, terutama kepada Ibu yang selama ini setia merawat Nenek. Inilah yang membuat kami mempercayai Nenek jahat meninggalkan kami di akhir hidupnya dengan tenang dan damai menuju alam akhirat.
Pengganti doa untuk almarhumah Nenekku.

0 comments:

Post a Comment