Saturday 3 January 2015

Dilema Pendidikan Anak

Pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam mencetak generasi masa depan yang berkualitas, memiliki keimanan yang kokoh, kepribadian yang unggul, menguasai sains dan teknologi yang mampu mengarahkan masa depan suatu Negara menjadi lebih maju. Dalam lintasan sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya dimasa datang dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat.
 
Dengan demikian pendidikan yang berhasil akan mampu melahirkan manusia yang memiliki kepribadian unggul (Islami) yang merupakan manifestasi dari pemahaman dan keyakinan aqidah Islam. Akan tetapi, di eraglobalisasi saat ini sering terjadinya kekerasan terhadap anak. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam dunia pendidikan, kasus pelecehan kekerasan seksual terhadap peserta didik, yang merupakan potret buram dari rendahnya produk pendidikan di Indonesia.
 
Tidaklah menjadi suatu hal yang baru lagi apabila banyak kalangan yang menilai jika pendidikan yang berlangsung selama ini masih jauh dari nilai-nilai demokratis dan humanisme. Bahkan, dapat dikatakan jika pendidikan secara tidak disadari telah mengalami proses de-humanisasi dan de-demokrasi. Dikatakan demikian karena pendidikan telah mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi yang dikandungnya. (Haryanto Al Fandi, 2011:203).
 
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah hingga lebih dari 10 persen. Wakil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Apong Herlina mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah terjadi dalam berbagai jenis baik itu dilakukan oleh guru maupun antar siswa. Kasus kekerasan itu juga terjadi merata hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Catatan ini didasarkan pada hasil survey KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000 orang siswa siswi. Baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/MTs, maupun SMA/MA.
 
Survey ini menunjukan 87,6 persen siswa mengaku mengalami tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam. Dan sebaliknya 78,3 persen anak juga mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang ringan sampai yang berat (http://fauzulandim.blogspot.com/2012/09/sekolah-ramah-anak.html)
 
Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sekolah hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak (siswa). Meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi kekerasan justru sering lahir dari tempat ini. Hal tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan makna sekolah itu sendiri, yaitu sebagai tempat untuk belajar, bukan tempat untuk melakukan kekerasan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat begitu menyenangkan bagi anak, karena di lembaga pendidikan inilah anak-anak akan di didik untuk saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan untuk bermusuhan atau saling menindas.
 
Sekolah seharusnya dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah (pendidikan budi pekerti) dan juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, telah dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertangungjawab dan tidak memahami arti dari sebuah proses pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan justru melunturkan makna humanisme itu sendiri.
 
Pendidikan yang semestinya menanamkan sikap toleransi, kepedulian terhadap sesama, kesadaran tentang perbedaan (pluralisme), adanya kesamaan hak serta kewajiban, kebebasan berpendapat dan sebagainya, justru mengebiri makna kebebasan dan memasung kemerdekaan peserta didik. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, demokrasi, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi nihil (Haryanto Al Fandi,2011:203). Dalam hal ini bukan hanya sekolah sebagai institusi pendidikan yang namanya akan tercemar, kepala sekolah, guru, siswa bahkan orang tua pelaku juga akan menjadi jelek di mata masyarakat. Kekerasan di sekolah atas nama apapun seharusnya tidak terjadi.

Metode Pendidikan Anak dalam Islam
Imam al-Ghazali mengatakan, Anak adalah amanat di tangan kedua orangtuanya. Hatinya yang suci adalah mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk. Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apapun, mudah condong kepada segala sesuatu. Apabila dibiasakan dan diajari dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh dalam kebaikan itu. Dampaknya kedua orangtuanya akan hidup berbahagia di dunia dan di akhirat.(Muh. Nur Abdul Hafizh Suwid, 2009: 46). Berdasarkan apa yang dikatan oleh Imam Al-Ghazali bahwa kedua unsur Bapak dan Ibu sangatlah penting. Mereka berdua mengirimkan anak untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah khusus atas nama belajar dan menuntut ilmu.
 
Menurut Abdullah Nashih ‘ulwan (2012:135) sebuah pendidikan dikatakan baik menurut pandangan Islam ketika menyandarkan pada kekuatan perhatian dan pengawasan. Maka sudah seharusnya para orang tua, pendidik, dan siapa saja yang menjadi pemerhati pendidikan dan moral untuk menghindarkan pada anak-anaknya empat hal dan harus diberikan perhatian serius karena termasuk perbuatan paling buruk, yaitu: (1) Gemar berbohong, (2) Gemar mencuri, (3) Gemar mencaci dan mencela, dan (4) Kenakalan dan penyimpangan. Oleh karena itu, dalam mendidik seorang anak dalam Islam ada beberapa metode yang bisa diterapkan. Muhammad Nur Abdul Hafizh (2009:139) ada beberapa metode pendidikan anak dalam Islam yaitu:
(a) Menampilkan Suri Teladan yang Baik;Suri teladan yang baik memiliki dampak yang besar pada kepribadian anak. Sebab, mayoritas yang ditiru anak berasal dari kedua orangtuanya/pendidik. Bahkan, dipastikan paling dominan berasal dari kedua orangtuanya. Rasulullah Shallahu’alayhi wa Sallam memerintahkan kedua orangtua untuk menjadi suri teladan yang baik dalam bersikap dan berperilaku jujur dalam berhubungan dengan anak.
(b) Mencari Waktu yang Tepat untuk Memberi Pengarahan.Sebagai pendidik harus memahai bahwa memilih waktu yang tepat untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil nasihatnya.
 
Rasulullah Shallallahu’alayhi wa sallam selalu memerhatikan secara teliti tentang waktu dan tempat yang tepat untuk mengarahkan anak, membangun pola pikir anak, mengarahkan perilaku anak, dan menumbuhkan akhlak yang baik pada diri anak. Ada tiga waktu mendasar dalam memberi pengarahan kepada anak; (1) Dalam perjalanan; ini menunjukan bahwa pengarahan Nabi Shallallahu’alayhi wa sallam dilakukan di jalan ketika keduanya sedang melakukan perjalanan, baik berjalan kaki ataupun naik kendaraan. Pengarahan ini tidak dilakukan dalam kamar tertutup, tetapi di udara terbuka ketika jiwa si anak dalam keadaan sangat siap menerima pengarahan dan nasihat. (2) Waktu makan; pada waktu ini, seorang anak selalu berusaha untuk tampil apa adanya. Sehingga, terkadang dia melakukan perbuatan yang tidak layak atau tidak sesuai dengan adab sopan santun di meja makan.
 
Apabila kedua orangtuanya tidak duduk bersamanya selama makan dan meluruskan kesalahan-kesalahannya, tentu si anak akan terus melakukan kesalahan tersebut. Selain itu, apabila kedua orangtua tidak duduk bersama si anak ketika dia makan, kedua orangtua akan kehilangan kesempatan berupa waktu yang tepat untuk memberikan pengarahan kepadanya. Nabi SAW ketika makan bersama anak-anak selalu memerhatikan dan mencermati sejumlah kesalahan. Kemudian beliau memberi pengarahan dengan metode yang dapat memengaruhi akal dan meluruskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan. (3) Waktu anak sakit; anak-anak kecil yang sakit, ada dua keutamaan yang terkumpul padanya untuk meluruskan kesalahan-kesalahannya dan perilakunya bahkan keyakinannya, yakni keutamaan fitrah anak dan keutamaan lunaknya hati yang sakit.
 
Demikianlah ketiga waktu utama yang tepat untuk para pendidik dalam memberikan pengarahan kepada anaknya dan membangun kepribadiannya; yaitu dalam perjalanan, waktu makan dan ketika sedang sakit. Juga ditambahkan waktu-waktu lainnya yang diperkirakan sebagai waktu yang tepat bagi kedua orangtua untuk anak-anak mereka.
(c) Bersikap Adil dan Menyamakan Pemberian untu Anak. Sikap ini merupakan dasar bagi setiap orang tua yang dituntut untuk selalu konsisten dalam melaksanakannya agar mereka dapat merealisasikan apa yang mereka inginkan, yaitu bersikap adil dan menyamakan pemberian untuk anak-anak. Karena, kedua hal ini memiliki pengaruh yang sangat besar sekali dalam sikap berbakti dan ketaatan anak.
(d) Menunaikan Hak Anak. Menunaikan hak anak dan menerima kebenaran darinya dapat menumbuhkan perasaan positif dalam dirinya dan sebagai pembelajaran bahwa kehidupan itu adalah memberi dan menerima. Disamping itu juga merupakan pelatihan bagi anak untuk tunduk kepada kebenaran, sehingga dengan demikian dia melihat suri teladan yang baik di hadapannya. Membiasakan diri dalam menerima dan tunduk pada kebenaran membuka kemampuannya untuk mengungkapkan isi hati dan menuntut apa yang menjadi haknya. Sebaliknya, tanpa hal ini akan menyebabkannya menjadi orang yang tertutup dan dingin.
(e) Larangan Mendoakan keburukan untuk anak. Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa ada seseorang datang kepada Abdullah bin Mubarak untuk mengadukan kedurhakaan anaknya. Abdullah bin Mubarak bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah mendoakan keburukan atasnya?” Dia menjawab, “Benar.” Abdullah berkata,” Kalau begitu engkau telah merusaknya.” Daripada menjadi penyebab rusaknya anak dengan mendoakan keburukan padanya, lebih baik kita mendoakan kebaikan padanya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang mendoakan kebaikan bagi anak-anak, sehingga Allah memberkati masa depan mereka dengan amal saleh, harta benda dan anak yang banyak.
(f) Membelikan Anak Mainan; Pengakuan Rasulullah SAW terhadap mainan Aisyah ra menjadi bukti tentang pentingnya arti mainan bagi anak-anak dan kecintaan mereka pada benda-benda kecil yang berbentuk dan memiliki rupa. Memberikan mainan untuk anak-anak bertujuan untuk mulai menyibukkan pikiran dan indranya sehingga dapat tumbuh sedikit demi sedikit.
(g) Membantu Anak untuk Berbakti dan Mengerjakan Ketaatan. Mempersiapkan segala macam sarana agar anak berbakti kepada kedua orangtua dan menaati perintah Allah SWT dapat membantu anak untuk berbakti dan mengerjakan ketaaatan serta mendorongnya untuk selalu menurut dan mengerjakan perintah.
(h) Tidak Suka Marah dan Mencela. Ketika seorang pendidik mencela anaknya,pada dasarnya dia sedang mencela dirinya sendiri. Sebab, bagaimanapun juga dialah yang telah mendidik anak-anaknya.
 
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah telah menjelaskan bagi para orang tua, wali dan para pendidik akan metode ilmiah, dan dasar-dasar yang benar dalam pendidikan anak agar anak berakhlak yang lurus dan berkepribadian Islami.

Oleh : Agus Yulianto, S.Pd.I (Pemerhati Pendidikan Anak)

0 comments:

Post a Comment