Tuesday, 28 January 2014

Cerpen: Perempuan yang Bernama Syur oleh Pak Jo Pakagula di Joglosemar (Minggu, 26/01/2014)

Perempuan Bernama Syur

Jo Pakagula*)

Sudah lima menit berkas persyaratan itu ia sodorkan, namun pegawai Kelurahan yang mirip Tukul Arwana itu hanya geleng-geleng kepala. Kumisnya tipis tak rata dan tumbuh lebih tebal hanya di bagian tepi. Sesekali tersungging senyum di bibir tebalnya seolah mengejek. Mulutnya begitu ikhlas memamerkan deretan gigi yang agak gerah ingin keluar.

“Maaf Pak, apa ada yang kurang?” tanya sang lelaki lugu itu penasaran.
“O tidak, cuma…”
“Pakai biaya Pak?”
“Tentu, tapi bukan itu Mas yang membuat saya bingung.”
“Bingung? Maksud Bapak?”
“Ini lho, masak anaknya diberi nama Vaginawati Mas?”
“Nggak boleh?”
“Boleh saja, tentu boleh. Mau dikasih nama Paijem, Poniyem, Wagiyem, terserah. Itu hak sampeyan. Saya hanya ingin bertanya, Mas tahu nggak arti kata vagina?”
“Pak, mbok kalau syaratnya sudah lengkap, segera dibikinkan. Maaf, tolong bantu saya Pak!” tutur lelaki itu kian mengiba.

“Begini Mas. Sebenarnya saya berniat baik. Dia anak sampeyan, jadi yang berhak memberi nama ya Mas sendiri, bukan saya. Masalahnya, nama ini mungkin akan sangat mengganggu, jika kelak anak Mas sudah dewasa. Begitu!”

“Begitu, eh begini saja Pak! Perkara nama serahkan pada saya, sebab saya ini ayahnya. Yang penting, tolong saya dibuatkan surat pengantar. Tetek-bengek yang lain, itu urusan saya. Perlu pula Bapak ketahui, saya suka dengan nama ini, dan bagi telinga saya, inilah nama paling indah yang pernah saya dengar. Jadi tolong Bapak bisa mengerti.”

“Ya, ya, sabar! Segera saya buatkan Mas. Tunggu sebentar!”
“Gitu dong harusnya dari tadi,” ujar lelaki lugu itu gagal menahan jengkel.

Usai mendapatkan apa yang diinginkan, lelaki itu memacu sepedanya menuju Kantor Kecamatan, yang berjarak setengah batang isapan rokok dari Kantor Kelurahan.

Dengan napas masih ngos-ngosan, lelaki lugu ini segera melangkah ke loket pelayanan. Kebetulan tidak ada antrian.

“Bu, minta stempel?”

“Stempel kok minta, bikin sendiri dong!” gurau pegawai kecamatan berbadan subur itu menyambutnya.

“Maksud saya, surat pengantar dari kelurahan ini mohon mendapat pengesahan, begitu Bu,” ujarnya terengah, butiran keringat memadati wajahnya yang ndesa. Semua berkas dalam map ia serahkan kepada wanita gemuk yang duduk di depannya. Pegawai kecamatan itu mulai memeriksa semua dokumen milik lelaki lugu.

“Bikin akte kelahiran ya Mas?”

“Betul Bu!” ucapnya gugup.

“KTP, KK, surat nikah, dan… apa-apaan nih?!” kata wanita itu lirih, hampir tak terdengar, lalu terdiam. Lima menit berlalu, pegawai kecamatan yang sekilas mirip Tika Project Pop itu hanya geleng-geleng kepala. Pipinya tebal menggemaskan, sesekali tersungging senyum di bibir seksinya seolah mengejek. Matanya begitu pelit memamerkan keindahannya, yang tampak hanya segaris warna hitam terkepung timbunan lemak.

“Maaf Bu, apa ada yang kurang?” tanya penasaran sang lelaki lugu.
“Oh tidak, cuma…”
“Pakai biaya Bu?”
“Tentu, tetapi bukan itu Mas yang membuat saya bingung.”
“Bingung? Maksud Ibu?”
“Ini lho, masak anaknya diberi nama Vaginawati Mas?”
“Iya, betul! Boleh kan Bu?”
“Boleh, tentu saja boleh. Mau dikasih nama Paijem, Poniyem, Wagiyem, terserah… itu hak sampeyan. Saya hanya ingin bertanya, Mas tahu nggak arti kata vagina?”
“Bu, mbok kalau syaratnya sudah lengkap, segera dicap gitu. Maaf sekali lagi Bu, pengesahan surat ini kan jadi perabot saya nanti. Tolong saya Bu!” tutur lelaki itu mengiba.

“Begini Mas. Sebenarnya saya berniat baik. Dia anak sampeyan, jadi yang berhak memberi nama ya Mas sendiri, bukan saya. Masalahnya, nama ini mungkin akan sangat mengganggu, jika kelak anak Mas sudah dewasa. Begitu!”

“Begitu, eh begini saja Bu! Perkara nama serahkan pada saya, sebab saya ini ayahnya. Yang penting, tolong surat pengantar dari kelurahan ini distempel. Tetek-bengek yang lain, itu urusan saya. Perlu pula Ibu ketahui, saya suka dengan nama ini, dan bagi telinga saya, inilah nama paling indah yang pernah saya dengar. Jadi tolong Ibu bisa mengerti.”

“Ya, ya, sabar! Segera saya cap Mas. Tunggu sebentar!”
“Gitu dong harusnya dari tadi,” ujar lelaki lugu itu gagal menahan jengkel.

Usai mendapatkan apa yang diinginkan, lelaki itu memacu sepedanya menuju Kantor catatan sipil, yang dua per tiga batang isapan rokok dari kantor kecamatan. Dengan napas masih ngos-ngosan, lelaki lugu itu segera melangkah ke loket pelayanan. Kebetulan tidak ada antrian. Petugas memeriksa semua berkas, sudah lengkap. Sang petugas yang bercambang lebat serupa Karl Marx itu menatap tajam lelaki lugu yang wajahnya masih bermandi keringat. Sejenak mereka berpandangan.

“Mas, walaupun nama yang tertera di sini sangat aneh, tapi tetap akan
saya proses.

Risiko di belakang hari merupakan tanggungjawab pemohon sendiri. Mas paham apa yang saya maksud?”

Lelaki lugu itu mengangguk. Dengan kejadian itu, ia menjadi sedikit bimbang, barangkali memang ada yang salah dengan nama putrinya?

***

Lima belas tahun kemudian…

“Inilah saat paling menyebalkan, perkenalan!” keluh gadis manis dan cerdas itu pada Shinta, sahabatnya semasa SMP. Kini, mereka diterima di SMA favorit yang sama.

“Gin, di mana-mana kalau orientasi siswa baru pasti seperti ini.”
“Tahu nggak kamu, aku paling benci kalau disuruh menyebutkan namaku sendiri!”
“Iya, aku tahu. Dunia memang penuh risiko, dan ini salah satunya.”
“Kamu jelek. Shinta jelek, crazy…!”

Yang diperolok hanya senyum-senyum. Shinta maklum, Vaginawati memang begitu.

Dari dulu, ia merasa namanya jorok dan sangat memalukan. Saat perkenalan itu pun tiba, satu per satu mereka berdiri untuk memperkenalkan diri. Semakin dekat pada gilirannya, gadis manis itu kian gemetar. Peluh membanjiri wajahnya, lehernya, dadanya, perutnya dan bagian tubuh yang lain. Ia berjuang mempersiapkan diri, menghadapi detik-detik yang dianggapnya paling genting seperti Ospek kali ini.

“Nama saya Gina, berasal dari SMP …”

“Interupsi, nyebutin nama harus lengkap dong!” bentak seseorang dari samping belakang. Vaginawati diam saja.
“Cepat! Bisu ya?”

Gadis manis itu membuka mulutnya dengan susah payah.

“Va..”
“Ya, Va apa?”
“Vag, Vag…”
“Terus, lebih keras lagi!”
“Vagi…”
“Cepat, yang lain juga ingin kenalan.”
“Va-gi-na…”

“Hah!” lalu suasana hening. Para siswa senior, yunior, lelaki, perempuan, semua bengong mendengar nama yang aneh ini.

“Panggil saya Gina,” ucap lirih gadis itu, tanpa ada yang mendengar. Wajahnya menunduk, matanya berkaca. Ia tak memperhatikan apa yang terjadi setelah itu.

Siang hari setiba di rumah, putri satu-satunya pak Bedor ini menyerbu ke pelukan sang ayah. Tangisnya meledak, dan seperti biasa, pak Bedor tampak canggung melihat putrinya yang kini telah beranjak dewasa.

“Yah, saya malu. Sudah beberapa kali saya harus menanggung malu akibat punya nama yang aneh ini. Tolong, ganti saja nama saya. Bancakan lagi juga nggak apa-apa.

Yah!”

Pak Bedor memandang keluar jendela. Langit yang kelabu bergemuruh, setelah dihiasi kilatan elektris yang panjang menyilaukan. Musim hujan mungkin akan datang lebih dini.

Dada lelaki lugu itu sesak, ingatannya kembali ke masa lalu.

“Ini memang salah ayah, Nak. Dulu ayah sudah diberi peringatan banyak
orang, namun ayah tetap teguh pendirian. Ayah bodoh, tapi keras kepala. Maafkan ayah karena telah membuatmu sedih. Dengar Nak, kalau ditanya siapa namamu, sebut saja Gina.

Titik. Waktu memilih nama untukmu, ayah benar-benar tak mengerti arti kata itu.

Sekarang, yang penting belajar dan terus belajar,” ujar lelaki yang sebagian rambutnya sudah memutih itu menghibur sang anak. Setelah tangisnya mereda, gadis manis yang cerdas itu pun masuk kamar.

Tak berapa lama, sang istri menggamit tangannya.

“Sini Mas, sebentar!” kata istrinya yang langsung masuk ke kamar tidur.
“Ada apa? Siang-siang begini…”
“Aku mau ngomong, bukan minta yang itu,” tukas sang istri sadis.
Lelaki lugu itu duduk di tepi kasur.
“Mas, anak kita Mas, kasihan dia!”
“Aku tahu, kamu pasti mau bilang semua salahku, iya kan?”
“Tidak, bukan itu. Aku hanya membayangkan, seandainya aku yang punya nama seperti dia, wah… repot sekali.”

Lelaki lugu itu belum menangkap semua maksud sang istri, “Misalnya?”

“Bla bla bla lalu bla bla bla akibatnya bisa bla bla bla,” timpal perempuan itu mengawali ceramah panjangnya. Bedor pasrah dan mengunci mulutnya.

***

Kini…

Pasangan lelaki lugu dan istrinya ikut menyalami para tamu yang hadir. Putri tunggalnya malam ini mengadakan tasyakuran karena tadi siang telah dilantik oleh Bapak Bupati menjadi seorang Camat. Kebetulan, satu-satunya Camat wanita di kabupaten ini.

Cuaca cerah, para tamu undangan sebagian masih duduk-duduk di taman sambil menikmati teh dan snack yang disediakan Ibu Camat. Para pramusaji tak kalah sibuk melayani serta membuat nyaman semua tamu yang hadir. Akhirnya, acara formal yang direncanakan sesingkat mungkin ini dimulai.

“Selamat malam, kami ucapkan selamat datang kepada para tamu yang terhormat,” sang MC membuka acara, “Kepada para tamu yang masih berada di depan, dimohon dengan hormat untuk segera masuk ke dalam vagina!”

“Hah!” teriak semua hadirin nyaris bersamaan. Semua mata langsung menusuk tajam ke arah MC. Tampaknya pria bersuara mantap ini segera menyadari kekeliruannya.

“Maaf, sekali lagi mohon maaf. Maksud saya, kepada para tamu yang masih berada di taman atau di teras, dimohon dengan hormat untuk masuk ke ruang dalam rumah Ibu Camat.”

Ralat tadi justru mengundang pertanyaan di kalangan tamunya, terutama yang belum mengenal dekat sang pejabat baru ini.

“Kok bisa salah ya? Parah!” seru istri seorang kepala cabang sebuah dinas kepada wanita di sebelahnya.

“Nggak salah sebetulnya. Memang Camat kita namanya Vaginawati!” terang yang ditanya, tampaknya ia istri pejabat yang lebih penting.

“Ah, yang benar?”
“Betul, tanya sendiri saja kalau tidak percaya.”
“Camat Vaginawati, wah keren!”
“Memang.”
“Tapi, tetap saja sang MC tadi salah.”
“Maksud Ibu?”
“Hmm!” ibu berambut keriting itu mendehem disusul tawa renyah berderai, menyebalkan.

Atas insiden tadi, suami ibu Camat segera menegur MC, dan berpesan jangan sampai kesalahan ini terulang lagi. Akhirnya semua acara berjalan lancar. Ada sambutan, makan malam serta ditutup doa. Jam sembilan seperempat acara sudah usai.

“Bagi para tamu undangan yang masih berkenan duduk dan sekadar berbincang, dengan senang hati Ibu Camat mempersilakan. Namun bagi para tamu undangan yang masih punya acara lain, dipersilakan untuk keluar dari vagina!”

Karanganyar, Januari 2014

Tentang Penulis:

Seniman sastra asal Karanganyar, bergiat di Pakagula Sastra.

Email: jopakagula@gmail.com

Link http://epaper.joglosemar.co/folder/2014/01/260114/#p=8 

0 comments:

Post a Comment