Perempuan Bernama Syur
Jo Pakagula*)
Sudah
lima menit berkas persyaratan itu ia sodorkan, namun pegawai Kelurahan yang mirip
Tukul Arwana itu hanya geleng-geleng kepala. Kumisnya tipis tak rata dan tumbuh
lebih tebal hanya di bagian tepi. Sesekali tersungging senyum di bibir tebalnya
seolah mengejek. Mulutnya begitu ikhlas memamerkan deretan gigi yang agak gerah
ingin keluar.
“Maaf
Pak, apa ada yang kurang?” tanya sang lelaki lugu itu penasaran.
“O
tidak, cuma…”
“Pakai
biaya Pak?”
“Tentu,
tapi bukan itu Mas yang membuat saya bingung.”
“Bingung?
Maksud Bapak?”
“Ini
lho, masak anaknya diberi nama Vaginawati Mas?”
“Nggak
boleh?”
“Boleh
saja, tentu boleh. Mau dikasih nama Paijem, Poniyem, Wagiyem, terserah. Itu hak
sampeyan. Saya hanya ingin bertanya, Mas tahu nggak arti kata vagina?”
“Pak,
mbok kalau syaratnya sudah lengkap, segera dibikinkan. Maaf, tolong bantu saya
Pak!” tutur lelaki itu kian mengiba.
“Begini
Mas. Sebenarnya saya berniat baik. Dia anak sampeyan, jadi yang berhak memberi
nama ya Mas sendiri, bukan saya. Masalahnya, nama ini mungkin akan sangat mengganggu,
jika kelak anak Mas sudah dewasa. Begitu!”
“Begitu,
eh begini saja Pak! Perkara nama serahkan pada saya, sebab saya ini ayahnya.
Yang penting, tolong saya dibuatkan surat pengantar. Tetek-bengek yang lain,
itu urusan saya. Perlu pula Bapak ketahui, saya suka dengan nama ini, dan bagi telinga
saya, inilah nama paling indah yang pernah saya dengar. Jadi tolong Bapak bisa mengerti.”
“Ya,
ya, sabar! Segera saya buatkan Mas. Tunggu sebentar!”
“Gitu
dong harusnya dari tadi,” ujar lelaki lugu itu gagal menahan jengkel.
Usai
mendapatkan apa yang diinginkan, lelaki itu memacu sepedanya menuju Kantor Kecamatan,
yang berjarak setengah batang isapan rokok dari Kantor Kelurahan.
Dengan
napas masih ngos-ngosan, lelaki lugu ini segera melangkah ke loket pelayanan. Kebetulan
tidak ada antrian.
“Bu,
minta stempel?”
“Stempel
kok minta, bikin sendiri dong!” gurau pegawai kecamatan berbadan subur itu menyambutnya.
“Maksud
saya, surat pengantar dari kelurahan ini mohon mendapat pengesahan, begitu Bu,”
ujarnya terengah, butiran keringat memadati wajahnya yang ndesa. Semua berkas
dalam map ia serahkan kepada wanita gemuk yang duduk di depannya. Pegawai kecamatan
itu mulai memeriksa semua dokumen milik lelaki lugu.
“Bikin
akte kelahiran ya Mas?”
“Betul
Bu!” ucapnya gugup.
“KTP,
KK, surat nikah, dan… apa-apaan nih?!” kata wanita itu lirih, hampir tak terdengar,
lalu terdiam. Lima menit berlalu, pegawai kecamatan yang sekilas mirip Tika
Project Pop itu hanya geleng-geleng kepala. Pipinya tebal menggemaskan, sesekali
tersungging senyum di bibir seksinya seolah mengejek. Matanya begitu pelit
memamerkan keindahannya, yang tampak hanya segaris warna hitam terkepung timbunan
lemak.
“Maaf
Bu, apa ada yang kurang?” tanya penasaran sang lelaki lugu.
“Oh
tidak, cuma…”
“Pakai
biaya Bu?”
“Tentu,
tetapi bukan itu Mas yang membuat saya bingung.”
“Bingung?
Maksud Ibu?”
“Ini
lho, masak anaknya diberi nama Vaginawati Mas?”
“Iya,
betul! Boleh kan Bu?”
“Boleh,
tentu saja boleh. Mau dikasih nama Paijem, Poniyem, Wagiyem, terserah… itu hak
sampeyan. Saya hanya ingin bertanya, Mas tahu nggak arti kata vagina?”
“Bu,
mbok kalau syaratnya sudah lengkap, segera dicap gitu. Maaf sekali lagi Bu, pengesahan
surat ini kan jadi perabot saya nanti. Tolong saya Bu!” tutur lelaki itu mengiba.
“Begini
Mas. Sebenarnya saya berniat baik. Dia anak sampeyan, jadi yang berhak memberi
nama ya Mas sendiri, bukan saya. Masalahnya, nama ini mungkin akan sangat mengganggu,
jika kelak anak Mas sudah dewasa. Begitu!”
“Begitu,
eh begini saja Bu! Perkara nama serahkan pada saya, sebab saya ini ayahnya. Yang
penting, tolong surat pengantar dari kelurahan ini distempel. Tetek-bengek yang
lain, itu urusan saya. Perlu pula Ibu ketahui, saya suka dengan nama ini, dan
bagi telinga saya, inilah nama paling indah yang pernah saya dengar. Jadi
tolong Ibu bisa mengerti.”
“Ya,
ya, sabar! Segera saya cap Mas. Tunggu sebentar!”
“Gitu
dong harusnya dari tadi,” ujar lelaki lugu itu gagal menahan jengkel.
Usai
mendapatkan apa yang diinginkan, lelaki itu memacu sepedanya menuju Kantor catatan
sipil, yang dua per tiga batang isapan rokok dari kantor kecamatan. Dengan
napas masih ngos-ngosan, lelaki lugu itu segera melangkah ke loket pelayanan. Kebetulan
tidak ada antrian. Petugas memeriksa semua berkas, sudah lengkap. Sang petugas
yang bercambang lebat serupa Karl Marx itu menatap tajam lelaki lugu yang wajahnya
masih bermandi keringat. Sejenak mereka berpandangan.
“Mas,
walaupun nama yang tertera di sini sangat aneh, tapi tetap akan
saya
proses.
Risiko
di belakang hari merupakan tanggungjawab pemohon sendiri. Mas paham apa yang
saya maksud?”
Lelaki
lugu itu mengangguk. Dengan kejadian itu, ia menjadi sedikit bimbang, barangkali
memang ada yang salah dengan nama putrinya?
***
Lima
belas tahun kemudian…
“Inilah
saat paling menyebalkan, perkenalan!” keluh gadis manis dan cerdas itu pada Shinta,
sahabatnya semasa SMP. Kini, mereka diterima di SMA favorit yang sama.
“Gin,
di mana-mana kalau orientasi siswa baru pasti seperti ini.”
“Tahu
nggak kamu, aku paling benci kalau disuruh menyebutkan namaku sendiri!”
“Iya,
aku tahu. Dunia memang penuh risiko, dan ini salah satunya.”
“Kamu
jelek. Shinta jelek, crazy…!”
Yang
diperolok hanya senyum-senyum. Shinta maklum, Vaginawati memang begitu.
Dari
dulu, ia merasa namanya jorok dan sangat memalukan. Saat perkenalan itu pun
tiba, satu per satu mereka berdiri untuk memperkenalkan diri. Semakin dekat pada
gilirannya, gadis manis itu kian gemetar. Peluh membanjiri wajahnya, lehernya, dadanya,
perutnya dan bagian tubuh yang lain. Ia berjuang mempersiapkan diri, menghadapi
detik-detik yang dianggapnya paling genting seperti Ospek kali ini.
“Nama
saya Gina, berasal dari SMP …”
“Interupsi,
nyebutin nama harus lengkap dong!” bentak seseorang dari samping belakang. Vaginawati
diam saja.
“Cepat!
Bisu ya?”
Gadis
manis itu membuka mulutnya dengan susah payah.
“Va..”
“Ya,
Va apa?”
“Vag,
Vag…”
“Terus,
lebih keras lagi!”
“Vagi…”
“Cepat,
yang lain juga ingin kenalan.”
“Va-gi-na…”
“Hah!”
lalu suasana hening. Para siswa senior, yunior, lelaki, perempuan, semua bengong
mendengar nama yang aneh ini.
“Panggil
saya Gina,” ucap lirih gadis itu, tanpa ada yang mendengar. Wajahnya menunduk,
matanya berkaca. Ia tak memperhatikan apa yang terjadi setelah itu.
Siang
hari setiba di rumah, putri satu-satunya pak Bedor ini menyerbu ke pelukan sang
ayah. Tangisnya meledak, dan seperti biasa, pak Bedor tampak canggung melihat putrinya
yang kini telah beranjak dewasa.
“Yah,
saya malu. Sudah beberapa kali saya harus menanggung malu akibat punya nama
yang aneh ini. Tolong, ganti saja nama saya. Bancakan lagi juga nggak apa-apa.
Yah!”
Pak
Bedor memandang keluar jendela. Langit yang kelabu bergemuruh, setelah dihiasi kilatan
elektris yang panjang menyilaukan. Musim hujan mungkin akan datang lebih dini.
Dada
lelaki lugu itu sesak, ingatannya kembali ke masa lalu.
“Ini
memang salah ayah, Nak. Dulu ayah sudah diberi peringatan banyak
orang,
namun ayah tetap teguh pendirian. Ayah bodoh, tapi keras kepala. Maafkan ayah
karena telah membuatmu sedih. Dengar Nak, kalau ditanya siapa namamu, sebut saja
Gina.
Titik.
Waktu memilih nama untukmu, ayah benar-benar tak mengerti arti kata itu.
Sekarang,
yang penting belajar dan terus belajar,” ujar lelaki yang sebagian rambutnya sudah
memutih itu menghibur sang anak. Setelah tangisnya mereda, gadis manis yang cerdas
itu pun masuk kamar.
Tak
berapa lama, sang istri menggamit tangannya.
“Sini
Mas, sebentar!” kata istrinya yang langsung masuk ke kamar tidur.
“Ada
apa? Siang-siang begini…”
“Aku
mau ngomong, bukan minta yang itu,” tukas sang istri sadis.
Lelaki
lugu itu duduk di tepi kasur.
“Mas,
anak kita Mas, kasihan dia!”
“Aku
tahu, kamu pasti mau bilang semua salahku, iya kan?”
“Tidak,
bukan itu. Aku hanya membayangkan, seandainya aku yang punya nama seperti dia, wah…
repot sekali.”
Lelaki
lugu itu belum menangkap semua maksud sang istri, “Misalnya?”
“Bla
bla bla lalu bla bla bla akibatnya bisa bla bla bla,” timpal perempuan itu mengawali
ceramah panjangnya. Bedor pasrah dan mengunci mulutnya.
***
Kini…
Pasangan
lelaki lugu dan istrinya ikut menyalami para tamu yang hadir. Putri tunggalnya
malam ini mengadakan tasyakuran karena tadi siang telah dilantik oleh Bapak
Bupati menjadi seorang Camat. Kebetulan, satu-satunya Camat wanita di kabupaten
ini.
Cuaca
cerah, para tamu undangan sebagian masih duduk-duduk di taman sambil menikmati
teh dan snack yang disediakan Ibu Camat. Para pramusaji tak kalah sibuk melayani
serta membuat nyaman semua tamu yang hadir. Akhirnya, acara formal yang direncanakan
sesingkat mungkin ini dimulai.
“Selamat
malam, kami ucapkan selamat datang kepada para tamu yang terhormat,” sang MC
membuka acara, “Kepada para tamu yang masih berada di depan, dimohon dengan
hormat untuk segera masuk ke dalam vagina!”
“Hah!”
teriak semua hadirin nyaris bersamaan. Semua mata langsung menusuk tajam ke
arah MC. Tampaknya pria bersuara mantap ini segera menyadari kekeliruannya.
“Maaf,
sekali lagi mohon maaf. Maksud saya, kepada para tamu yang masih berada di
taman atau di teras, dimohon dengan hormat untuk masuk ke ruang dalam rumah Ibu
Camat.”
Ralat
tadi justru mengundang pertanyaan di kalangan tamunya, terutama yang belum mengenal
dekat sang pejabat baru ini.
“Kok
bisa salah ya? Parah!” seru istri seorang kepala cabang sebuah dinas kepada wanita
di sebelahnya.
“Nggak
salah sebetulnya. Memang Camat kita namanya Vaginawati!” terang yang ditanya,
tampaknya ia istri pejabat yang lebih penting.
“Ah,
yang benar?”
“Betul,
tanya sendiri saja kalau tidak percaya.”
“Camat
Vaginawati, wah keren!”
“Memang.”
“Tapi,
tetap saja sang MC tadi salah.”
“Maksud
Ibu?”
“Hmm!”
ibu berambut keriting itu mendehem disusul tawa renyah berderai, menyebalkan.
Atas
insiden tadi, suami ibu Camat segera menegur MC, dan berpesan jangan sampai kesalahan
ini terulang lagi. Akhirnya semua acara berjalan lancar. Ada sambutan, makan malam
serta ditutup doa. Jam sembilan seperempat acara sudah usai.
“Bagi
para tamu undangan yang masih berkenan duduk dan sekadar berbincang, dengan
senang hati Ibu Camat mempersilakan. Namun bagi para tamu undangan yang masih
punya acara lain, dipersilakan untuk keluar dari vagina!”
Karanganyar, Januari
2014
Tentang Penulis:
Seniman
sastra asal Karanganyar, bergiat di Pakagula Sastra.
Email: jopakagula@gmail.com
Link http://epaper.joglosemar.co/folder/2014/01/260114/#p=8
0 comments:
Post a Comment