dimuat di majalah Al-Mar’ah, edisi Januari
Link sumber http://atmokanjeng.wordpress.com/2014/01/30/balada-prasojo-dan-hujan/
Hujan deras turun minggu-minggu ini memaksa para petani berdiam di
rumah. Prasojo yang bekerja menggarap sawah dan tak memiliki pekerjaan
lain, harus rela mengisi waktu senggangnya dengan memperbaiki alat-alat
pertanian sembari mendengarkan radio yang terus melaporkan cuaca buruk.
Meskipun ancaman cuaca buruk membayang di benaknya, Prasojo tetap
berharap panennya berhasil. Ia perlu banyak uang untuk melunasi hutang
dan persiapan kenaikan kelas putrinya Balqis yang mulai bersekolah SD
tahun ajaran bulan depan. Ya, Prasojo sangat sayang dan mendukung anak
itu. Balqis adalah buah hatinya. Anak itu sudah pandai baca tulis, jauh
di atas rata-rata temannya. Harapannya jauh di depan agar Balqis kelak
tidak seperti dirinya, menjadi seorang petani yang hanya mengandalkan
kebaikan musim. Ia harus mengenyam pendidikan tinggi.
“Apa kita bisa panen Pak? Hujannya setiap hari makin deras begini,”
tanya istrinya sore itu melihat gerimis yang deras di halaman.
“Entahlah Bu. Biarlah nanti aku menengok ke sawah, melihat kemungkinan kita bisa panen atau tidak.”
Dari dalam terdengar suara Balqis yang sedang membaca Qur’an. Dia sudah
Iqra lima sekarang. Hapalan doanya juga bertambah. Kadang-kadang Balqis
memamerkan hapalannya ketika sedang berkumpul bersama saat malam. Balqis
memang bikin sayang suami istri Prasojo.
“Ayah mau dibikinkan teh panas?” tawar Istrinya memecahkan lamunan Prasojo.
“Ya, bolehlah. Sekalian digorengkan ketela yang aku ambil dari ladang kemarin. Masih ada di gandog sedikit.”
“Kebetulan sudah aku cuci semua kok, Yah. Tinggal digoreng.”
Istrinya pergi ke dapur meninggalkan Prasojo yang tercenung memandangi hujan di halaman yang makin deras.
“Wah, hujan terus. Balqis tidak bisa TPA ke masjid,” ujar Balqis yang
tiba-tiba sudah di beranda dengan tas akan berangkat ke masjid membuat
Prasojo menengok. Prasojo tersenyum.
“Nanti biar diantar sama Ibu pakai payung.”
Tapi raut muka anak itu masih muram juga.
“Sudah dapat berapa hapalan surat pendeknya?” tanya Prasojo.
“Sudah sampai At Takatsur. Ayah mau dengar?”
“Boleh. Sudah seminggu ini Ayah kan tidak dengar hapalan Balqis.”
Balqis lalu melafalkan dengan grotal gratul bacaan At Takatsur hingga
selesai. Sang Ayah bertepuk tangan, dan anak itu berlari ke pelukan sang
ayah dengan pipi merona merah.
“Hebat kan Balqis?”
“Iya, anak Ayah memang hebat.”
Sebentar kemudian istri Prasojo keluar dengan segelas teh panas dan
sepiring ketela goreng. Balqis yang lapar melihat ketela goreng langsung
mencomot satu.
“Eh, nggak boleh makan sambil berdiri Balqis.”
“Eh, iya,” Balqis duduk di pangkuan Ayahnya dengan manja.
“Tapi kenapa sih Bu, anak-anak yang lain kalau makan sambil lari-lari
dan boleh pakai tangan kiri. Tapi kalau Balqis tidak boleh.”
Prasojo mengusap kepala anak itu dengan sabar menjelaskan.
“Nabi Muhammad mencontohkan kepada kita agar makan dengan tangan kanan.
Kalau makan sambil berlari bisa membuat aluran pernapasan kita tersumbat
sehingga tersedak. Balqis tidak mau sakit kan?”
“Iya deh. Balqis tidak akan mengulangi,” ujar Balqis tersenyum.
***
Prasojo yang baru pulang dari sawah menengok padinya mengabarkan berita
buruk. Hujan terlalu deras. Semua tanaman padinya roboh. Panen mereka
benar-benar gagal. Istrinya ikut bermuram durja.
“Terus bagaimana kita akan membayar hutang kita Pak? Dan biaya naik kelas Balqis?”
“Kita pakai simpanan Ibu dulu. Nanti kalau ada uang kita beli lagi.”
“Sudah tidak ada lagi Pak. Simpananku sudah habis saat beli pupuk kemarin itu.”
“Kalau begitu terpaksa kita akan hutang tetangga Bu.”
“Sama siapa Pak? Tetangga kita yang kaya kelihatannya Pak RT saja. Tapi bukankah Pak RT itu rentenir?”
“Iya Bu, aku tahu. Tapi sama siapa lagi kita pinjam uang? Biar aku
mencoba memberi pengertian kepada Pak RT, siapa tahu hatinya menjadi
lunak dan mau meminjami kita tanpa riba.”
Dengan prasangka baik Prasojo datang ke rumah Pak RT. Di depan rumah ia
disambut salakan anjing herder yang besar. Prasojo jadi keder. Namun, ia
tak punya pilihan. Ia harus membawa pulang uang untuk membayar hutang.
Setelah dipanggilkan seorang jongos akhirnya Pak RT yang tambun itu
keluar menemui Prasojo. “Maaf sama anjingku tadi Pak. Belum aku kasih
makan, jadi agak galak dia.”
“Tidak apa-apa Pak.”
“Harganya mahal anjing herder itu. Kecil segitu aja sudah dua puluh juta. Makannya saja steak daging sapi setiap hari.”
Prasojo tersenyum kecut dipameri seperti itu.
“Oh ya ada apa kemari?” tanya Pak RT pura-pura lupa.
Prasojo menghela napas sebentar, dengan rasa segan ia menceritakan
keluhannya pada Pak RT yang punya koperasi simpan pinjam itu. “Saya mau
hutang satu juta Pak.”
“Oh, boleh. Tenang saja. Nggak usah khawatir. Mau buat apa to kalau boleh tahu?”
“Ya, untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Balqis, Pak.”
“Bisa. Bisa. Nanti aku kasih”
“Dan apakah bisa kali ini untuk saya tanpa tambahan bunga, Pak? Saya janji tidak sampai satu bulan akan mengembalikan.”
“Maksudmu bagaimana?”
Prasojo menjelaskan. “Islam itu kan melarang riba …
“Tapi masalahnya kalau uang ini tidak dikelola seperti itu pastilah jadi
beku,” Potong Pak RT. “Aku sendiri sebenarnya hanya ingin mempermudah,
Pras. Orang-orang bisa meminjam dengan jangka sampai satu tahun dan
bunganya sepuluh persen saja. Keuntungannya juga tidak aku pakai
sendiri, tapi digunakan untuk memberi pinjaman orang lain juga. Tapi,
itu terserah kamu. Kalau mau pinjam ditempatku kamu harus menerima
syarat itu. Kalau nggak mau ya sudah! Habis perkara!”
Tak ada kesepakatan. Prasojo terpaksa kembali dengan tangan hampa.
Mereka berdua bingung memikirkan cara apa lagi yang bisa dilakukan.
***
“Apa yang kita bilang! Makanya, kalau meninggalkan adat nenek moyang
pasti celaka,” ujar Pardi kepada orang-orang di warung tentang gagal
panen yang menimpa Prasojo.
“Mereka orang baru tapi dikandhani ngeyel . Aku sudah berkali-kali
memperingatkan mereka, kalau mau panen berhasil sawah harus caos
dhahar,” tukas seorang petani yang sawahnya dekat dengan milik Prasojo
sambil mengaduk kopinya.
“Biar tahu rasa dia. Kemarin datang mau hutang uang padaku. Aku mau
kasih, eh, tapi dia malah ndalil di depanku, kalau bunga pinjaman itu
haram! Dasar sok alim!” timpal Pak RT yang kebetulan ada di situ. “Baru
jadi ustadz kampung saja, sudah senang ceramahi orang tua. Kuwalat
sendiri kalau mau merubah adat.
***
Balqis baru kali ini melihat Ayah Ibunya kelihatan susah. Ia juga
mendengar apa yang mereka keluhkan. Tentang bayaran sekolah yang belum
terlunasi, tentang panen yang gagal karena sawah tergenang hujan. Balqis
jadi tergerak ingin membantu kesulitan mereka. Tapi apa yang bisa ia
lakukan?
Balqis teringat kisah yang diceritakan ustadz di masjid. Kisah itu
menceritakan seorang petani yang sedang kesulitan keuangan seperti
ayahnya. Petani itu kemudian mengirim surat kepada Tuhan agar Tuhan
membantu ayahnya. Di kantor pos, surat itu dibaca oleh sang tukang pos
yang heran ada alamat yang ditujukan kepada Tuhan. Setelah membaca isi
surat itu sang tukang pos merasa iba dan ingin membantu petani itu.
Tukang pos itu pun mengirim amplop balasan dengan uang walaupun tidak
sejumlah uang yang dibutuhkan petani itu. Sampai di rumah, petani itu
gembira mendapat balasan uang yang dimintanya dari Tuhan. Tapi betapa
marah petani itu melihat jumlah uang yang ia minta tidak sesuai. Dengan
marah si petani kemudian menulis surat lagi agar Tuhan kelak mengirimkan
uang tidak lewat kantor pos agar tidak dicuri oleh tukang pos.
Balqis, tahu itu hanya cerita. Namun Balqis ingin mencoba. Barangkali
saja ada seorang tukang pos yang baik yang mau membantu Ayahnya seperti
dalam kisah Surat kepada Tuhan itu.
***
“Ibu lihat ini!!” teriak Pak Prasojo pada istrinya yang sibuk di dapur.
“Ada apa Pak?”
“Kau percaya ini semua?” Pak Prasojo gemetar dengan uang di tangannya.
“Bapak dapat uang sebanyak ini darimana?”
“Aku tidak tahu.”
“Tidak tahu bagaimana? Bapak memegang uangnya sekarang.”
“Iya Bu, tukang pos itu yang mengantar ke sini. Dan di dalamnya ada uang satu juta, persis seperti yang kupegang ini.”
“Ini benar alamat kita Pak. Mungkin ini untuk kita Pak.”
“Tapi dari siapa Bu? Pasti si tukang pos itu keliru. Kalau keliru harus aku kembalikan.”
“Tidak Bu, tukang pos itu tidak keliru,” tiba-tiba Balqis datang menyela.
“Kamu tahu ini semua Balqis?” Ibunya terkejut bertanya.
Balqis lalu menceritakan kalau ia yang membuat surat itu dan mengirimkannya ke kantor pos.
Pak Prasojo menggeleng. “Ayah tidak ingin kita menjadi peminta-minta.
Ini pasti uang si tukang pos itu. Ayo kita kembalikan padanya”
“Untuk apa Ayah? Bukankah Ayah sudah mendapat uang yang Ayah butuhkan?” Balqis bertanya.
“Kau tahu Balqis, Tuhan menyuruh kita bersabar. Dia juga memberi ujian
kepada hambaNya, yang manakah hambaNya yang bertaqwa dan bersabar dalam
ujian itu. Kita tidak boleh meminta-minta kepada orang walaupun kita
sangat membutuhkan uang itu. Balqis paham?”
Balqis dan Ayahnya mengejar si tukang pos untuk mengembalikan uang itu.
Tapi, ada satu yang tak diketahui Prasojo. Sebenarnya uang itu pun bukan
milik si petugas pos. Petugas itu hanya bertugas mengantar karena
alamatnya memang tertera jelas untuk Prasojo.
0 comments:
Post a Comment