Calon lurah itu akhir-akhir ini memang sering datang di warung. Saban
hari malah ia datang dengan mobil panthernya. Biasanya ia datang
sendirian. Senyum lebarnya selalu menyapa kami, seolah ia orang yang tak
pernah merasa kesusahan.
Apalagi menjelang Pilkades yang akan dilaksanakan sebulan lagi. Dalam
setiap kedatangannya ia selalu bermurah hati menraktir semua pengunjung
di warung. Bu Kanjeng sendiri, sebagai pemilik warung, ikut merasa dia
yang ketiban pulung. Ia pun memanggil si calon lurah yang bernama Yosua
itu dengan Bos Yos. Akhirnya semua orang, setiap ketemu dengan calon
lurah itu suka mengikuti lidah Bu Kanjeng, semata untuk mendapat hati
dari si calon lurah.
Seperti hari ini, jika biasanya yang banyak mendominasi obrolan di
warung adalah Narimo si tukang becak, yang isinya kurang lebih curhat
kekurangan hidupnya, sekarang hal itu tak terjadi lagi. Sekarang Narimo
sendiri paling banter hanya bicara untuk mengaklamasi omongan si Bos Yos
itu, persis seperti beo saja. Tapi anehnya, perbuatan yang kami benci
dari Narimo ini, tak segan kami lakukan kalau si calon lurah ini bicara.
Seperti kali ini ketika Bos Yos ini sedang menceritakan janji-janjinya kalau jadi lurah nanti dan juga kegiatan amalnya menyumbang korban banjir yang sedang melanda Jakarta. Kami semua, termasuk Narimo hanya mendengarkan. Tak peduli itu cerita itu sebenarnya tidak banyak berbeda seperti janji-janji pejabat yang ingkar janji itu, namun karena Bos Yos yang membayari kami makanan, jadilah kami merasa harus menjadi pendengar yang baik. Tak boleh ada sahutan yang nyaring dari orang-orang, atau celetukan kenes Bu Kanjeng. Pokoknya harus menjadi pendengar sampai si Bos Yos bosan sendiri bicara.
Tetapi tiba-tiba, mungkin karena saking bersemangatnya, tanpa sadar
Bos Yos berbuat ceroboh yang sangat gawat. Sikunya yang atraktif itu tak
sengaja menumpahkan cangkir kopi pengunjung di sebelahnya, milik Pak
Kardi, orang yang paling streng di antara pengunjung warung. Jadilah
kemeja putih Pak Kardi itu kena tumpahan kopi hitam yang cukup banyak
sehingga membuat kemeja yang belum lunas cicilannya itu menjadi tambah
jelek sekali.
“Maaf, maaf Pak. Saya tadi nggak sengaja,” kata si Bos Yos
benar-benar minta maaf. Ia berniat mengelapi namun malah meratakan
kotoran kuning ampas kopi.
Kami yang sebenarnya duduk memandang semua itu sedang menunggu
sesuatu terjadi. Ya, semacam perkelahian hebatlah, atau caci maki keras
pada Bos Yos itu. Tetapi, ajaibnya, Pak Kardi, si pengunjung yang
terkenal pemberang itu tidak menyumpahi si calon lurah seperti yang kami
harapkan. Atau minimal mencekau kerah Bos Yos lalu membanting wajahnya
di meja penuh makanan. Padahal tempo hari ketika terjadi hal yang sama,
ia memaki-maki orang yang teledor seperti yang dilakukan si calon lurah
itu dengan sebutan biang ceroboh, orang buta tak tahu diri, plus
tendangan di pantat orang malang dan celaka itu.
Sungguh semua itu tak terjadi. “Ijinkan saya membayar kesalahan saya.
Terimalah sekedar uang ganti rugi yang tak seberapa ini,” kata si calon
lurah memperlihatkan rasa bersalah benar dengan mengeluarkan pecahan
lima puluh ribu kepada Pak Kardi.
“Ah, tidak perlu Bos Yos. Ini bukan masalah besar kok.”
Kami yang memandang cukup heran dan tak mengerti, adegan ini tak pernah
ada dalam bayangan kami kalau melibatkan Pak Kardi yang mudah tersulut
emosi.
Tapi itulah yang terjadi pada Pak Kardi yang kena tumpahan kopi
bahkan menolak ganti rugi yang disodorkan. Selembar lima puluhan ribu
masih di depan matanya ia tolak.
“Apakah kurang? Katakan kalau kurang, saya akan menambahnya. Tolong Bu Kanjeng, kopinya bapak ini diganti saja sama yang baru.”
“Iya nggak usah malu-malu. Kebaikan itu jangan ditolak, mubadzir,”
tukas Bu Kanjeng sambil mengambilkan gelas lagi. “Halah terima saja Pak.
Kan uangnya bisa buat bayar utang saya.”
Pak Kardi yang klecam-klecem, mau tak mau ia terima uang itu, lalu
gantian uang itu pindah diambil Bu Kanjeng yang cengar-cengir. Sementara
itu dalam hati kami yang hadir di situ, tiba-tiba merasa iri dengan
keberuntungan Pak Kardi. Mimpi apa dia semalam bisa mendapat selembar
lima puluh ribuan plus traktiran kopi susu dari Bos Yos. Kalau soal kena
tumpahan kopi tapi dapat ganti lima puluhan ribu, jangan tanya lagi
siapa yang mau. Kami semua yang di warung pasti akan rela kalau sekedar
begituan, bahkan kalau perlu sekalian kemeja kami dicopot terus
digerujukin seteko kopi.
Tetapi memang soal keberuntungan itu selalu milih-milih. Tidak hanya
orang temperamen macam Pak Kardi, atau orang pelit macam Bu Kanjeng,
bahkan penjahat sekalian pun bisa sangat beruntung. Dan katanya sih,
memang Bos Yos ini anak orang kaya. Orang-orang desa menjuluki
keluarganya sebagai balung gajah, dimana kekayaan keluarganya tak akan
habis untuk tujuh turunan. Orang tuanya dulu lurah di desa ini. Maka,
banyak orang yang menyebut kalau calon lurah yang sedang duduk di warung
ini pasti yang akan menjadi lurah terpilih pada pilkades kali ini.
Sebentar kemudian tampaknya si Bos Yos minta pamit. Ia seperti
kemarin dengan royal membayari kami semua. Sebagai balasan tentu saja
kami berterima kasih. Besok lagi ya Bos! Begitu kami ikut mengatakan
seperti yang Narimo katakan.
Tetapi tiba-tiba Bos Yos kembali lagi ke warung setelah tadi sudah
masuk mobil. Ia datang malah mengambil parang pemecah es milik Bu
Kanjeng.
“Bu Kanjeng, boleh saya pinjam parang ini barang beberapa hari?”
“Boleh sih boleh Bos. Tapi, buat apa barang kayak gitu mau dipinjam?” tanya Bu Kanjeng jelas ingin tahu.
“Boleh sih boleh Bos. Tapi, buat apa barang kayak gitu mau dipinjam?” tanya Bu Kanjeng jelas ingin tahu.
“Sebenarnya malam ini saya mau berburu anjing liar Bu.”
Bu Kanjeng garuk-garuk kepala alamat tidak paham.
“Anjing liar apaan? Yang bener mau berburu anjing liar Bos.”
“Iya bener Bu. Begini, Bu Kanjeng, akan saya jelaskan maksud saya. Di dekat rumah setiap malam itu ada seekor anjing biadab yang menyalak seenaknya dan lolongannya itu amat sangat mengganggu tidur malam saya. Jelasnya, saya mau menyingkirkan anjing biadab itu dengan parang ini,” jelas calon lurah itu.
Bu Kanjeng garuk-garuk kepala alamat tidak paham.
“Anjing liar apaan? Yang bener mau berburu anjing liar Bos.”
“Iya bener Bu. Begini, Bu Kanjeng, akan saya jelaskan maksud saya. Di dekat rumah setiap malam itu ada seekor anjing biadab yang menyalak seenaknya dan lolongannya itu amat sangat mengganggu tidur malam saya. Jelasnya, saya mau menyingkirkan anjing biadab itu dengan parang ini,” jelas calon lurah itu.
Bu Kanjeng dan pengunjung lainnya yang mendengar penjelasan absurd
itu hanya manggut-manggut sambil menelan makanan. Entah paham atau tidak
yang penting makan.
“Terus ini sebagai ganti rugi, saya harap Bu Kanjeng mau menerima sekedar uang sewa untuk parang ini. Cukup kan?”
“Terus ini sebagai ganti rugi, saya harap Bu Kanjeng mau menerima sekedar uang sewa untuk parang ini. Cukup kan?”
Bos Yos lagi-lagi membuat semua pengunjung di warung menelan ludah,
apalagi kalau bukan ketika membuka dompetnya yang tebal yang penuh
dengan kertas ratusan ribu itu. Bahkan kami tak segan-segan berdecak
kagum sambil berharap Bos Yos kembali bermurah hati pada salah satu dari
kami.
Jelas saja Bu Kanjeng menerima uang itu seperti yang kami perkirakan.
Haram menolak rejeki, begitulah prinsip dagang Bu Kanjeng, yang
mengelola warungnya empat tahun lebih di tepi jalan ini.
Bos Yos itupun akhirnya pergi. Namun yang nampaknya benar-benar
beruntung dan doa mendapat kebaikan hati Bos Yos, adalah Narimo. Apa
pasal, hanya si tukang becak yang hobi tidur itulah yang diajak masuk ke
dalam mobil panther Bos Yos. Sementara becaknya dititipkan di warung,
di bawah pohon mangga yang lagi berbuah muda.
* * *
Narimo yang baru kali ini diajak masuk mobil mewah merasa sangat
bangga. Ia tahu pasti semua orang di warung iri padanya, dan besok pasti
akan berebut ingin diceritakan apa yang dilakukannya bersama Bos Yos.
Narimo jadi nyengir sendiri, hingga lamunannya pecah ketika Bos Yos bicara.
“Aku perlu bantuanmu, Mo. Kalau kau mau melakukannya, kuanggap semua hutangmu padaku lunas dan masih akan kutambah imbalan lagi. Kamu mau melakukannya to?”
“Aku perlu bantuanmu, Mo. Kalau kau mau melakukannya, kuanggap semua hutangmu padaku lunas dan masih akan kutambah imbalan lagi. Kamu mau melakukannya to?”
“Tapi bantuan apa, bos? Mau naik becak keliling desa sambil kampanye? Kalau soal itu boleh, bisa diatur.”
“Bukan soal itu. Yang penting jawab dulu ya, nanti baru kujelaskan.”
“Tampaknya saya tak punya pilihan lain, bos. Boleh. Tentu saja saya sendhika dhawuh.”
Bos Yos menyeringai.
“Bagus, kamu pegang dulu ini.”
Narimo menerima parang pemecah es yang dari tadi dibawa Bos Yos.
“Ini buat apa Bos?”
“Kamu ingat apa yang aku bilang ini dan kamu akan laksanakan!”
“Siap Bos. Siap…!”
“Bukan soal itu. Yang penting jawab dulu ya, nanti baru kujelaskan.”
“Tampaknya saya tak punya pilihan lain, bos. Boleh. Tentu saja saya sendhika dhawuh.”
Bos Yos menyeringai.
“Bagus, kamu pegang dulu ini.”
Narimo menerima parang pemecah es yang dari tadi dibawa Bos Yos.
“Ini buat apa Bos?”
“Kamu ingat apa yang aku bilang ini dan kamu akan laksanakan!”
“Siap Bos. Siap…!”
Udara ac yang sejuk di dalam mobil memang sangat nyaman daripada
gerah jalanan. Walaupun sambil minum es cincau rasa strawberry. Tetapi
yang baru Narimo dengar itulah yang tiba-tiba membuat gigil badannya
melebihi kalau seorang telanjang dimasukkan ke dalam kulkas selama
seharian penuh.
“Tidak akan aku ulangi perintahku Mo. Cukup itu saja semua hutangmu akan lunas dan akan kutambah imbalan lagi. Kamu mau kan?”
* * *
Hari ini mungkin sama cerahnya dengan hari kemarin. Angin berhembus
sejuk di bawah kerindangan pohon mangga dan segenap burung-burung
menambah asri suasana. Warung Bu Kanjeng sudah dipenuhi pengunjung
seperti biasa. Makanan di warung juga makin lengkap. Dalam hati kami
berdoa, semoga setiap hari kami pun dapat nongkron di warung ini untuk
ikut merasakan suka cita bersama Bu Kanjeng.
Dan benarlah, doa kami sepertinya terjawab dengan cepat. Dari
seberang jalan sebuah mobil yang sudah kami kenal segera menepi ke
warung. Seorang lelaki putih yang gemuk yang sudah kami akrab dengannya
kini turun dari mobil dengan senyum yang lapang.
Ya, si Bos Yos turun dari mobil mewahnya dengan senyum mengembang
secerah sinar matahari yang mulai langka di musim penghujan ini. Ia
duduk di kursi bersama pengunjung yang lain, memesan segelas susu hangat
pada Bu Kanjeng.
“Wah, semua orang di warung ini pasti akan iri dengan bos,” ujar Bu
Kanjeng mengambil hati pada Bos Yos sambil mengaduk susu hangat.
“Iri gimana Bu Kanjeng, masak saya saja dibuat iri?”
“Iri ya betul-betul iri. Terutama iri dengan raut muka sampeyan yang selalu dihiasai senyuman itu. Apa karena semalam dapat servis uueenak ya, bos?” ujar Bu Kanjeng sengaja berjorok-jorok.
“Bu Kanjeng itu bisa saja. Tapi, terima kasih atas pujiannya. Saya akan jelaskan mengapa saya senyum-senyum terus. Dan ini memang ada kaitannya dengan kabar baik semalam.”
“Tentu Bos mau membagi kabar baik itu pada kami.”
“Oh pasti, Bu Kanjeng. Maka sebelum kabar baik itu kuceritakan, saya mau menraktir semua yang ada di sini. Hari ini kalian boleh makan apa saja, terserah berapa banyaknya, saya yang akan membayarnya. Kabar baik memang harus dibagi sama rata. Betul kan apa yang saya bilang, Bu Kanjeng?”
“Iri gimana Bu Kanjeng, masak saya saja dibuat iri?”
“Iri ya betul-betul iri. Terutama iri dengan raut muka sampeyan yang selalu dihiasai senyuman itu. Apa karena semalam dapat servis uueenak ya, bos?” ujar Bu Kanjeng sengaja berjorok-jorok.
“Bu Kanjeng itu bisa saja. Tapi, terima kasih atas pujiannya. Saya akan jelaskan mengapa saya senyum-senyum terus. Dan ini memang ada kaitannya dengan kabar baik semalam.”
“Tentu Bos mau membagi kabar baik itu pada kami.”
“Oh pasti, Bu Kanjeng. Maka sebelum kabar baik itu kuceritakan, saya mau menraktir semua yang ada di sini. Hari ini kalian boleh makan apa saja, terserah berapa banyaknya, saya yang akan membayarnya. Kabar baik memang harus dibagi sama rata. Betul kan apa yang saya bilang, Bu Kanjeng?”
Bu Kanjeng dan segenap pengunjung di warung bersorak setuju. Tawaran
makan gratis itu tak akan dipikir lama lagi oleh mereka. Akibatnya Bu
Kanjeng jadi repot melayani rengekan para pengunjung yang bersamaan
kelaparan. Tapi, bagi Bu Kanjeng, segala kerepotan para pengunjung
sebaliknya malah menjadi berkah.
“Tapi, jangan buat kita lama penasarannya dengan berita baik itu bos,” tukas pengunjung yang lain.
“Baiklah, saya tak akan ragu lagi menumpas rasa penasaran kalian
semua. Begini ceritanya,” si calon lurah itu sebentar menyeruput susu
hangatnya sebelum melanjutkan bicaranya.
“Begini kabar baik saya itu: semalam anjing biadab yang sering mengoyak
mimpi indah saya itu telah saya lenyapkan. Tepat jam sepuluh, anjing
biadab itu sudah menemukan kematiannya dengan cara anjing. Sekarang saya
lega sekali berhasil membunuhnya. Karenanya saya bisa tidur nyenyak dan
mimpi indah lagi.”
Tapi sejenak semua terdiam. Bu Kanjeng juga garuk-garuk kepala yang
tak gatal karena penjelasan itu sama sekali tak nyantol padanya.
“Mengapa diam?” tanya si calon lurah itu. “Kalian tidak ikut senang dengan berita gembira saya ini?”
“Senang bos, sudah pasti kami juga ikut gembira,” tukas bu Kanjeng. “Betul kan, semua juga ikut senang karena bos sudah berhasil membunuh anjing yang mengganggu tidur bos itu?”
“Ya, kami juga ikut senang,” serempak sahut yang lain.
Si calon lurah itu sebentar manggut-manggut.
“Tapi dimana Narimo, saya tak melhatnya di sini. Apa dia nggak narik becak hari ini?”
“Senang bos, sudah pasti kami juga ikut gembira,” tukas bu Kanjeng. “Betul kan, semua juga ikut senang karena bos sudah berhasil membunuh anjing yang mengganggu tidur bos itu?”
“Ya, kami juga ikut senang,” serempak sahut yang lain.
Si calon lurah itu sebentar manggut-manggut.
“Tapi dimana Narimo, saya tak melhatnya di sini. Apa dia nggak narik becak hari ini?”
Kali ini kami heran karena ia tampak terkejut. Mungkin karena bisnis
kemarin dengan Narimo itu lancar jadi Bos Yos ingin mencari Narimo lagi.
Baru kali ini kami merasa iri dengan Narimo hingga dua kali. Kemarin
dan hari ini.
“Biasanya tengah hari begini, dia yang paling datang duluan. Tapi, aneh juga sampai sekarang belum tampak batang hidungnya,” jawab Bu Kanjeng.
“Biasanya tengah hari begini, dia yang paling datang duluan. Tapi, aneh juga sampai sekarang belum tampak batang hidungnya,” jawab Bu Kanjeng.
Saat semua orang di warung sedang memikirkan keberadaan si tukang
becak, semua orang tiba-tiba dikejutkan dengan raungan beberapa mobil
polisi yang cepat menepi ke warung itu. Dan kejadian itu terjadi seperti
kilat saja.
Beberapa polisi bersenjata langsung menyerbu warung. Pistol-pistol
yang pasti berisi pelor itu tepat mengarah kepada salah seorang di depan
kami, tepat di dada Bos Yos. Lalu dengan cepat pula seorang polisi yang
berpakaian preman tiba-tiba membekuk Bos Yos lalu memborgolnya hingga
ia tak bisa berkutik.
“Kami membawa surat penangkapan saudara atas tuduhan pembunuhan
terencana terhadap saudara Parmadji, calon lurah saingan anda. Narimo,
si tukang becak orang suruhan saudara juga telah kami tangkap dan
sekarang menunggu di kantor!”
Kami semua di warung terpukau dengan kejadian itu. Pertama kali
kejadian seperti itu kami lihat. Rasa takut, terkejut dan bingung
bergumpal di wajah kami.
“Itu tidak benar, saya orang baik-baik. Tanya saja pada orang di warung ini. Mereka kenal saya semua,” Bos Yos mencoba berontak, mencoba lepas sekuat tenaga.
“Diam!” bentak polisi yang memborgolnya. “Semua yang kamu katakan dapat menjadi bukti di persidangan nanti.”
“Itu tidak benar, saya orang baik-baik. Tanya saja pada orang di warung ini. Mereka kenal saya semua,” Bos Yos mencoba berontak, mencoba lepas sekuat tenaga.
“Diam!” bentak polisi yang memborgolnya. “Semua yang kamu katakan dapat menjadi bukti di persidangan nanti.”
Sungguh kami bergetar. Bos Yos telah jadi tersangka pembunuhan.
Polisi itu segera menyeret Bos Yos menuju ke mobil walaupun Bos Yos
terus-terusan berteriak tak bersalah.
“Tanya saja pada orang–orang di warung itu Pak polisi. Saya pasti tidak bersalah! Saya orang baik-baik.”
“Tanya saja pada orang–orang di warung itu Pak polisi. Saya pasti tidak bersalah! Saya orang baik-baik.”
Mengikuti pernyataan si tersangka, salah seorang polisi lain
menyelidiki wajah kami dengan seksama. Matanya akhirnya tertuju pada Bu
Kanjeng.
“Kami tidak kenal sama sekali pria itu, pak polisi,” kata Bu Kanjeng
gentar di tatap tajam sang polisi. “Semua orang di sini juga nggak kenal
dia. Betul kan, saudara-saudara?”
“Ya, Pak polisi, sebelumnya kami juga belum pernah ketemu dengannya,” buru-buru kami menjawab seperti itu. Entah kalimat itu datang darimana, mungkin karena ketakutan kami jika dianggap ikut membunuh calon lurah Parmadji itu. Pun kami menjadi gemetar ketika melihat bahwa wajah Bos Yos yang digelandang polisi. Wajahnya yang putih lucu itu penuh berlumuran darah. Dan darah itu ternyata sebagian tercecer di makanan yang kami makan. Lalu mulut-mulut kami pun tampak habis orang makan darah, sangat mirip binatang vampir yang kami sering lihat di televisi yang membuat anak-anak kami menangis.
“Ya, Pak polisi, sebelumnya kami juga belum pernah ketemu dengannya,” buru-buru kami menjawab seperti itu. Entah kalimat itu datang darimana, mungkin karena ketakutan kami jika dianggap ikut membunuh calon lurah Parmadji itu. Pun kami menjadi gemetar ketika melihat bahwa wajah Bos Yos yang digelandang polisi. Wajahnya yang putih lucu itu penuh berlumuran darah. Dan darah itu ternyata sebagian tercecer di makanan yang kami makan. Lalu mulut-mulut kami pun tampak habis orang makan darah, sangat mirip binatang vampir yang kami sering lihat di televisi yang membuat anak-anak kami menangis.
Sedetik itupun kami merasa ingin memuntahkan semua yang pernah kami makan dari Bos Yos.
0 comments:
Post a Comment