Friday 16 January 2015

(Cerpen) Bening karya Danang Febriansyah

BENING
Cerpen Danang Febriansyah
(Dibahas dalam Forum Diskusi “Bakar Sate” FLP Solo oleh Komunitas Sastra “Sketsa Kata” Minggu, 3 September 2006 & Dimuat dalam Majalah Serambi Al-Muayyad, September 2013)

            “Aku tak mencintaimu.”
Terdiam dalam seribu kalimat yang mengendap di hati terurai bersama amarah yang menyusup. Tiga kata yang begitu menikam dengan sangat telaknya.
Ketika apa yang telah menjadi sebuah kepastian itu direnggut tanpa terselamatkan, apalah daya untuk merebut kembali jika itu masalah hati.
“Betapa menyakitkan dipermainkan.”
“Hanya maafku terucap.”
“Sangat menyakitkan!”
Lalu kenapa engkau rela menjadi kekasihku, ketika ku ucapkan kata cinta untukmu? Baru kemarin kau menjadi kekasihku. Bukankah aku telah menerima tantanganmu untuk benar-benar menjadikanmu sebagai calon pendamping hidupku hingga makam menerima kita untuk masuk ke dalamnya? Tapi kenapa baru sehari kemarin, kini kau pergi begitu saja dengan memporak-porandakan hatiku?
            “Maaf.”
            Lagi-lagi hanya permintaan maafmu yang kau ucapkan, tanpa bisa menjelaskan alasan kenapa engkau hanya dua puluh empat jam menjadi kekasihku dan pagi ini kau menghempaskanku kembali dalam jurang yang teramat gelap. Aku terpuruk.
            “Baru sekali ini aku dipermainkan. Dan cukup kali ini saja!”
            “Aku memang tak bisa mencintaimu, meski ku telah berusaha. Tapi aku sayang kamu, makanya aku enggan untuk membohongimu lebih lama lagi.”
            Betapa bodohnya engkau, dengan mudah menerimaku, lalu dengan mudah pula kau melepasku. Kau anggap apa aku ini?
            “Hanya satu pertanyaanku, apa alasanmu menerimaku menjadi kekasihmu?”
            Kamu hanya menunduk dalam mendengar pertanyaanku ini. Kulihat airmatamu mengalir deras mengguncang bahumu. Tanganmu mencoba membendungnya tapi tetap tak bisa, air mata itu tetap saja mengalir, bahkan makin deras.
            “Kenapa?”
            Aku mencoba tak terusik dengan tangismu. Pepohonan bergoyang landai, anginnya membelai rambutmu yang tergerai. Batu tempat kita duduk ini terdiam, sementara air sungai yang menyapu kaki kita mengalir mengiringi tangismu, mengiringi luka hatiku.
            Kamu mencoba menata hati. Kau hela nafas panjang, disela-sela kicau burung meramaikan pagi.
            “Aku ….
            Masih saja kau belum bisa mengemukakan alasanmu. Kamu tetap saja seperti tak kuasa menyakiti hatiku, meski benar-benar telah mengoyak hatiku.
            Sementara aku makin diiris rasa penasaran yang menggelegak, kau kembali menitikkan air mata. Tangis yang seharusnya keluar dari mataku, bukan darimu. Betapa ini sungguh menyakitkan. Ketika satu janji terucap dihati pada saat menjelang Ramadhan kali ini untuk menghilangkan sifat temperamentalku, pada saat itu pula aku dibuat untuk meledakkan amarahku. Aku tetap mencoba bertahan untuk tak mengumbar emosi ini. Karena kamu. Aku ingin Ramadhan kali ini benar-benar dapat meredakan amarahku. Tapi seakan kamu malah menambah dendam yang membara.
            Hembusan angin seperti menjawab semua pertanyaan dan membawa amarahku pergi menjauh. Kuhela nafas untuk melonggarkan sesak di dada ini. Kutunggu reda tangismu.
            Aku hanya ingin tahu alasanmu, kenapa kamu begitu mudahnya mematahkan hatiku yang telah terpaku padamu, dan berjanji akan membawamu pada sebuah kebahagiaan dalam pernikahan.
            Aku berdiri. Mencoba melemaskan urat yang membuatku tak betah menghadapi kenyataan ini.
            “Baik, rupanya kamu suka mempermainkanku dengan cara seperti ini. Aku salah dalam menilaimu. Aku mengira kau begitu lembut dan hebat. Tapi kau tak ada bedanya dengan …”
            Aku tak kuasa menyebutnya. Tapi memang aku begitu terbebani dengan kebisuanmu.
            “Aku tak bermaksud mempermainkan cintamu.”
            “Lalu?”
            “Aku sayang kamu.”
            “Terus?”
            “Tapi .
            “Tapi kau tak mencintaiku?”
            Kamu mengangguk.
            Betapa anehnya. Baru kemarin kamu menerimaku sebagai kekasihmu. Dan sekarang, di sini, di sungai ini, pada waktu yang sama seperti kemarin, seperti saat kamu menerimaku sebagai kekasihmu, kamu menghempaskanku dengan begitu dahsyat. Aku tak bisa menghindar.
            “Lalu, kenapa kau mau menjadi kekasihku?”
            “Aku nggak mau menyakitimu.”
            “Dengan merampas cintaku ini, kau mengira tak menyakitiku?”
            “Bukan.”
            “Lalu?”
            “Aku lebih mencintai yang lain”
            Meledak seluruh alam, meledak seluruh dunia. Ingin rasanya ku menampar mukamu, lalu kudorong hingga tercebur ke sungai. Hingga mampus, ku tak peduli.
            “Kenapa kau menerimaku, jika kau telah mencintai yang lain?”
            “Aku bertemu dengannya setelah aku menerimamu.”
            “Jadi ….
            Aku terbelalak, serasa benar-benar kudipermainkan dengan begitu menyakitkan. Ingin saja niat jahatku kulampiaskan. Tapi tidak, aku harus bisa menepati janji pada diriku sendiri untuk bisa mengendalikan emosi. Kata-kataku lenyap di rampas kemarahan. Kau lebih memilih dia setelah menerimaku. Begitu mudahnya kau menyakiti hatiku. Aku menjadi heran, kau yang begitu dewasa, ternyata begitu mudahnya jatuh cinta. Ada apa dibalik kelembutanmu itu?
            “Bukan begitu maksudku. Seharian kemarin aku berusaha berfikir jernih. Dan begitulah keputusanku, aku menemukan kebeningan. Aku meninggalkanmu agar bisa lebih dalam mencintainya.”
            Kucoba tegar dengan segala keadaan ini. Ingin kudengar lebih jelas bagaimana maksudmu. Aku benar-benar tak mengerti ada apa dalam fikiranmu. Cemburu yang begitu hebat menggelayut manja di jiwaku.
            “Siapa yang beruntung mendapatkan cintamu itu?”
            “Sebenarnya aku yang beruntung mendapatkan cintanya.”
            Kamu lagi-lagi seakan berusaha membakar hatiku hingga hangus. Kau tak menganggap sedikitpun dengan cintaku. Kau memandang sebelah mata rasa cintaku ini. Bukankah kau juga seharusnya merasa beruntung dengan cinta yang besar kuberikan padamu?
            “Siapa dia?”
            Aku tetap berusaha mencoba tenang, mengenyampingkan temperamental yang menjadi bagian dari hidupku ini. Meski aku benar-benar dibakar amarah.
            Kamu diam. Benar-benar diam. Membuat darahku mendidih.
            “Siapa?”
            Kuulangi pertanyaanku agar kau yakin bahwa aku memang ingin tahu siapa sebenarnya yang telah merenggutmu dari hatiku. Berusaha bersabar menunggu jawabanmu. Berusaha bersabar dan menerima segala keadaan ini. Aku harus bisa mengendalikan amarah yang membuncah ini.
            Kau hela nafas.
            “Illahi.Lirih ucapmu namun begitu jelas terdengar oleh telingaku.
            Angin lembut berhembus. Burung menghentikan kicauannya seakan juga mencoba mendengar ucapanmu. Angin menyejukkan alam, menyejukkan hati.
            Aku memahami.
            Tak beraniku mencemburui Tuhan.


Rabu, 31 Mey 2006             07.05 WIB
Inspired by kalimat yang diucapkan Donatus A. Nugroho “Tapi, siapa yang berani mencemburui Tuhan?”

0 comments:

Post a Comment