Ilustrasi
Oleh: Agus Yulianto
Guru PAI SDIT Insan Cendekia Boyolali
Anggota IGI Soloraya
Joglosemar (Rabu, 25/02/2015)
Dalam beberapa hari terakhir ini media massa, baik media cetak maupun
elektronik gencar memberitakan tentang kekerasan yang terjadi di
sekolah, khususnya bullying (kekerasan) yang dilakukan oleh
siswa maupun guru. Kekerasan yang dilakukan tersebut telah keluar dari
nilai-nilai kemanusian dan mencoreng tujuan mulia pendidikan.
Tragedi kekerasan yang berujung pada penahanan pelaku bullying
telah mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Betapa tidak, sekolah yang
seharusnya dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah
(pendidikan budi pekerti) dan juga untuk menanamkan nilai-nilai
karakter, telah dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak
bertangungjawab dan tidak memahami arti dari sebuah proses pendidikan.
Dalam hal ini, bukan hanya sekolah sebagai institusi pendidikan yang
namanya akan tercemar, kepala sekolah, guru, siswa bahkan orangtua
pelaku juga akan menjadi jelek di mata masyarakat. Kekerasan di sekolah
atas nama apapun seharusnya tidak terjadi.
Kekerasan pada dasarnya dapat digolongkan dalam dua bentuk ; Pertama,
kekerasan dalam bentuk sederhana atau bersifat spontanitas, yang
mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan,
seperti menempeleng atau meninju seseorang secara spontan akibat marah
atau emosi yang tidak terkendali; Kedua, kekerasan yang
terkoordinir atau terencana, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik
yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni
kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme (Bashori, 2010: 69-70).
Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak
kekerasan di lingkup sekolah. Akhir-akhir ini yang sering disoroti oleh
media tindak kekerasan yang terjadi di beberapa sekolah/madrasah yang
ada di Kota Solo. Kalau kita ketahui data dari hasil penelitian LSM
perlindungan anak menyebutkan bahwasannya kekerasan terhadap anak paling
tinggi dilakukan dalam lembaga pendidikan.
Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist
Merdeka Sirait menyatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak marak
terjadi di sekolah. “Persentasenya nomor dua setelah rumah.” Kesimpulan
tersebut ia dapat dari data kasus aduan kekerasan terhadap anak selama
2012. Dari 2.637 aduan yang masuk, sekitar 60 persennya merupakan kasus
kekerasan seksual (Tempo, 4/3/ 2013).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 kemarin
terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah hingga
lebih dari 10 persen. Wakil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Apong Herlina mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah
terjadi dalam berbagai jenis baik itu dilakukan oleh guru maupun
antarsiswa. Kasus kekerasan itu juga terjadi merata hampir di seluruh
wilayah di Indonesia.
Catatan ini didasarkan pada hasil survei KPAI di sembilan provinsi
terhadap lebih dari 1.000 orang pelajar. Baik dari tingkat SD/MI,
SMP/MTs, maupun SMA/MA. Survei ini menunjukkan 87,6 persen siswa mengaku
mengalami tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti
dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga
dilukai dengan benda tajam. Dan sebaliknya 78,3 persen anak juga
mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang ringan sampai
yang berat (komnaspa.or.id). Sungguh ironis sekali ternyata lembaga pendidikan kita masih belum meminimalisasi terjadinya kekerasan di sekolah?
Kebijakan
Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sekolah
hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak
(siswa). Sekolah seharusnya menjadi tempat yang begitu menyenangkan bagi
anak, karena di lembaga pendidikan inilah anak-anak akan dididik untuk
saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan untuk bermusuhan
atau saling menindas. Dalam hal ini siswa senior harus dapat membimbing
dan mengarahkan juniornya menjadi lebih baik. Sebaliknya siswa junior
juga harus bisa menghargai dan menghormati seniornya.
Di sinilah peran guru sangat menentukan dalam menciptakan
keharmonisan hubungan antarsiswa. Dengan melihat kondisi itu pemerintah
diharapkan agar segera menerbitkan kebijakan sekolah ramah anak di
seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Sehingga, ke depan sekolah tidak
hanya menjadi lembaga yang berorientasi pada pencapaian target kurikulum
tapi penyelenggaraannya juga menghormati HAM dan prinsip perlindungan
anak.
Menurut penulis, tindakan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini
disebabkan oleh beberapa hal di antaranya karena kondisi sekolah yang
kurang nyaman dan juga kurikulum sekolah. Untuk mewujudkan hal
tersebut, banyak hal yang harus dipenuhi di antaranya selalu mengajak
anak berpartisipasi dalam memutuskan setiap kebijakan sekolah misalnya
dalam hal penyusunan tata tertib sekolah atau jenis hukuman bila mereka
melanggar.
Selain itu, sarana dan prasarana yang ada di sekolahpun harus
dipenuhi. Pendidik juga mempunyai peran yang sangat signifikan, mereka
harus mampu menjadi pendidik yang ramah terhadap anak dan mampu
menjadi fasilitator yang baik bagi anak didiknya. Sementara anakpun
harus dinilai sikap dan perilakunya ketika mereka berinteraksi dengan
temannya pada saat istirahat.
PAI Sebagai Alternatif
Berbagai fakta di atas, mengindikasikan bahwa pendidikan belum
mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian generasi
bangsa yang berjiwa demokratis dan berwatak humanis. Pendidikan yang
seharusnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan justru melunturkan
maknanya itu sendiri.
Pendidikan yang semestinya menanamkan sikap toleransi, kepedulian
terhadap sesama, kesadaran tentang perbedaan, adanya kesamaan hak serta
kewajiban, kebebasan berpendapat dan sebagainya, justru mengebiri makna
kebebasan dan mengasung kemerdekaan peserta didik. Akibatnya, Mereka
menjadi robot zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan (
Haryanto Alfandi,2011:203). Dalam hal ini dibutuhkan sekali peran Guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) karena PAI merupakan alternatif solusi
untuk membentuk karakter peserta didik yang beriman dan bertakwa.
Persoalannya adalah bagaimana melaksanakan pembelajaran yang benar-benar
dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia di
kalangan peserta didik?
Pembinaan akhlak tidak cukup hanya dilakukan oleh guru PAI melalui
mata pelajaran yang diampunya di sekolah yang hanya dilaksanakan dua jam
per minggunya. Akan tetapi, diperlukan integrasi antara nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan pada mata pelajaran PAI dengan mata pelajaran
lainnya, atau yang kemudian disebut dengan mata pelajaran umum.
Proses ini secara psikologis akan memperkaya dan memperdalam bahan
ajar. Persoalannya terletak pada strategi mana yang hendak dipergunakan
guru dalam mengintergrasikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam
mata pelajaran yang diampunya. Dengan adanya integrasi nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan dalam mata pelajaran umum, maka pembinaan
tanggung jawab akhlak peserta didik adalah tanggung jawab semua guru
mata pelajaran, bukan hanya tanggung jawab guru PAI.
Proses integrasi ini pun harus berjalan secara alamiah, tidak melalui
proses yang mengada-ada. Proses integrasi bukan berarti setiap pokok
bahasan harus dilegalkan dengan ayat-ayat Alquran, melainkan dari setiap
pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil peserta didik
bagi kehidupannya. Melalui integrasi materi pembelajaran akan tercipta
karakter yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur agama
Islam yang pada gilirannya akan melahirkan budi pekerti.
0 comments:
Post a Comment