dakwatuna.com – Aku sudah tidak sanggup lagi hidup
dalam kesendirian. Mengikuti arus waktu yang terus berjalan, setiap
detik selalu ada perubahan. Aku termenung dalam kamar kosong menikmati
arus waktu yang kulalui dengan segala perubahan yang terjadi. Alangkah
cepat waktu berjalan.
Kini, emosiku berjalan pelan dalam darah tubuh yang mulai kuyu. Kutengadahkan kedua tangan dalam dzikir malamku. Selalu kusebut asma-Nya
dalam setiap denyut nadiku. “Jadi apa yang hendak Aku sampaikan padaMu,
Rabbi?” tanyaku dalam kegalauan. Kebimbangan diri masih menghiasi sisa
kehidupanku. Sesuatu yang selama ini aku inginkan kini telah pergi jauh
dalam hidupku. Kekasih malam ini kurajut asa dalam kepiluan. Menanti
harapmu kembali dalam penantian panjangku. Mengukir cerita di atas
pasir. Menyaksikan alunan senja di tepi pantai Parangtritis. Masih
ingatkah kau ketika bercengkerama dengan panorama senja yang kau
goreskan kuas warna-warna pikiranmu pada selembar kain kanvas? Begitu
indah pemandangan senja itu kau katakan padaku. Ibarat seindah wajah
sayumu. Jilbab putihmu melambai mengikuti arah mata angin yang begitu
sejuk kurasakan serasa kumemandangmu. Masih kuingat dulu kau selalu
bilang bahwa cinta yang kita rajut ini suci, yang akan menghantarkan
kita dalam mahligai pernikahan. Tapi apa yang aku saksikan tak semanis
yang aku rasa, aku kecewa. Kini kau bersanding dengan lelaki pilihan
Ayahmu. Ketika cinta telah mekar dalam jiwa.
Malam itu masih
teringat jelas apa yang kau katakan padaku ”Ren.. sampai kapan aku harus
menunggu kepastian darimu? Ayah dan Ibuku selalu menanyakan kapan kau
akan melamarku. Mereka malu mempunyai anak gadis semata wayang yang
usianya kini sudah berkepala tiga. Setiap kali aku pulang dari kerja
selalu menanyakan tentang dirimu.” Kata Apri sambil menyeka air matanya.
Malam itu aku hanya terdiam. Nyaliku sebagai seorang laki-laki hilang
untuk mengungkapkan kata ‘ya, aku akan melamarmu’. Sejak malam itu di
serambi Masjid Agung Solo cinta kita kandas karna ketidakberanianku
untuk meminangmu.
“Pri, aku pun tak mau hubungan ini berakhir
begitu saja. Aku sudah melakukan apa yang aku bisa untuk mengikat
mahligai cinta kita. Namun keluargaku sudah tidak mau memberikan
restunya pada kita. Mungkin sudah jalan-Nya kita harus mengakhiri kisah
perjalanan cinta kita. Ingatlah takdir cinta bahwa jodoh tidak akan
pernah tertukar.” ucapku padanya.
Penyesalan kini datang ketika
takdir cinta sudah tak berpihak padaku. Hanya air mata dan kebisuan diri
yang selalu menghiasi hari-hariku. Bukannya aku tidak ingin meminangmu,
tapi ragaku sebagai lelaki yang tak mampu menjadikanmu pendamping
hidupku. Meskipun aku menyesal telah melepaskanmu untuk selamanya, tapi
rasa cinta ini masih ada untukmu. Aku tahu perjalanan dirimu untuk
menjadi seorang muslimah. Kau wanita yang luar biasa berani menghijabkan
diri untuk meraih cinta yang hakiki dari-Nya.
***
Hari
Senin, 8 Mei 2013 aku menyaksikan dirimu bersanding dengan seorang
lelaki gagah, tampan dan kaya. Aku melihat rona wajahmu yang penuh
dengan kebahagiaan. Sempat aku membayangkan jika yang kau genggam jari
jemarinya itu adalah Aku betapa bahagianya diriku. Nuansa putih nan suci
menjadi hiasan di acara pernikahanmu. Lagu-lagu nasyid
mengalun merdu dengan syair-syair cintanya. Begitu banyak tamu undangan
dari keluarga besarmu dan teman sejawatmu turut bersuka cita di hari
yang bahagia ini. Kuperhatikan setiap gerak gerik dirimu dan arah matamu
berharap kau akan mencariku di antara ribuan tamu yang hadir. Setiap
aku perhatikan seakan tak tersirat sedikitpun tentang diriku. Apakah
mungkin engkau telah melupakan aku. Berat memang menerima kenyataan yang
sangat pahit ini.
Aku coba langkahkan kaki untuk sekadar
mengucapkan selamat kepadamu, tapi kakiku terasa berat dan dadaku terasa
sesak. Air mataku pun jatuh tak terasa di hari bahagiamu. Sulit bagiku
melepaskan jeratan cinta yang telah kita rajut dulu, Apri. Aku pejamkan
mata di antara ribuan tamu undangan yang hadir. Nafas yang tinggal
separuh kucoba hempaskan secara perlahan-lahan. Kuatkan diriku ya Allah.. Ikhlaskan hati ini untuk melepasnya. Meskipun
hati terasa membeku dan sekujur tubuhku terasa mati rasa, air mataku
jatuh tiada henti dan pikiranku hanya teringat tentang
penyesalan-penyesalan yang hinggap dibenakku. Aku langsung berlari
meninggalkan gedung mewah ini. Tak sanggup melihat dirimu bersanding
dengan orang lain. Aku yakin kau masih mencintaiku. Tapi apa daya,
diriku ternyata lemah untukmu.
Kubasuh wajahku dengan air wudhu
dan kusujudkan diri yang lemah ini dihadapan-Mu. Inginku ucap rasa
syukur atas apa yang telah terjadi pada kisah cintaku. Tapi bibir ini
terasa kelu. Hanya suara isakan tangis menghiasi sepertiga malam ini.
Aku ternyata belum dapat menjadi hamba yang ikhlas menerima takdir
cinta-Mu, ya Allah. Aku mohon pada-Mu ikhlaskanlah diri ini untuk
melepasnya dari kisah hidupku. Jangan kau penjarakan hati ini. Kuambil
tasbihku. Kusebut nama-Mu tiada henti. Tasbih ini menjadi saksi bisu
untuk melepas bidadari surgamu yang tak hinggap di jiwaku.
Tiga
bulan semenjak kepergiannya dari sisiku, aku benar-benar menderita. Aku
seperti orang gila. Air mataku tak pernah berhenti mengalir di setiap
sujudku. Jari jemariku selalu bertasbih menyebut asma-Nya. Biar tenang
jiwa ini. Aku tak bisa melupakannya sama sekali dari kehidupanku,
bagaimanapun juga Apri pernah mengisi relung-relung hatiku. Hatiku juga
tidak bisa berpindah ke perempuan lain. Aku masih mencintainya. Cintaku
kepadanya menghapus semua kisah cinta yang pernah aku jalani. Begitu
sulit diriku memunculkan cinta yang baru. Keindahan-keindahan saat
bersama telah mematikan kenangan-kenangan yang tidak mudah untuk aku
lupakan. Kepribadianmu memberikan warna tersendiri dalam kehidupanku.
Seterang cahaya yang menyejukan mata setiap orang yang memandangmu.
Cintamu telah membutakan mata batinku. Dan semua perempuan tak dapat aku
beri ruang di setiap relung-relung jiwaku. Kala kau pergi dari jiwaku,
aku tak putus dirundung kesedihan. Butiran-butiran tasbih selalu
menguatkan hatiku, dalam setiap dzikir malamku.
0 comments:
Post a Comment