Wednesday 25 February 2015

Cerpen "Tersohor" oleh Yuditeha di Koran Merapi (Minggu, 22/02/2015)

Koran Merapi Pembaruan (Minggu, 22/02/2015), Yogyakarta
Link: Facebook Sastra Alit Surakarta.

    Senja berlalu. Cahaya jingga yang tadi sempat menerobos lewat lobang angin-angin penjara kini telah menghilang, berganti sorot sinar merkuri yang baru saja dinyalakan. Malam ini adalah malam midodareni bagi sebagian tahanan mati. Kabarnya ada sepuluh tahanan yang akan dieksekusi dini hari nanti. Dan diantaranya adalah tahanan yang bernama Franz Estello Calvin.

    Saat ini, di ruang selnya yang bernomor 119, sembari menunggu eksekusi tiba, dia mengisi waktu dengan menulis surat. Meski petugas telah menanyakan apa yang jadi permintaan terakhirnya namun dia sengaja belum mau mengatakannya. Rencananya, surat itu-lah permintaan terakhirnya. Dia akan memberikan surat itu kepada petugas sebelum eksekusi dilakukan. Dia ingin masyarakat tahu siapa jati dirinya.

    Kepada semua orang yang berkenan membacanya,
begitu dia mulai menulis suratnya.

    Dari sekian tahanan mati kasus narkoba, mungkin hanya saya-lah yang menerima takdir ini dengan kebahagiaan dan suka cita.  Karena bagi saya, kematian ini akan begitu indah.


    Jangan mencurigai dan jangan tersinggung dengan kata-kata saya itu. Karena saya tidak bermaksud menyakiti perasaan siapa pun. Saya berpikir begitu semata untuk diri saya sendiri. Saya juga bukan sedang ingin melakukan pembelaan atas kasus diri saya dan hukuman mati yang saya terima ini.

    Pada intinya ini tentang cita-cita saya, mungkin bisa dikatakan seperti sebuah obsesi. Cita-cita ingin menjadi penulis kesohor. Dan aku bilang seperti obsesi karena usaha untuk menuju terkenal itu ternyata tidak mudah. Dan itulah yang terjadi pada diri saya dulu.

    Saya tidak tahu, apa yang kulakukan ini karena saya iri atau saya terinspirasi. Ada penyair Indonesia yang bernama Chairil Anwar, dia berteriak ingin hidup seribu tahun lagi. Rupanya hanya dengan puisi, cita-citanya itu kesampaian, bahkan namanya mungkin bisa hidup selamanya. Lalu saya juga berpikir tentang kisah-kisah karya dan kematian penulis yang lainnya. Dari kisah-kisah itu saya menyimpulkan, seringkali sebuah karya (apa pun bentuk dan mutunya) akan diberi penghargaan pada saat si pembuat karya itu mati.

    Dari situ, dulu saya pernah akan melakukan bunuh diri, tentu saja sebelumnya saya sudah siap dengan karya-karya tulisan saya. Pada kenyataannya saya sudah menulis ribuan judul puisi, ratusan naskah cerpen, dan tiga belas naskah novel. Sebenarnya beberapa puisi dan beberapa cerpen saya pernah dimuat di media koran tapi itu belum cukup mengantarkan nama saya pada keterkenalan. Apalagi belum satu pun novel saya yang diterima di penerbit.

    Kondisi itu sering membuat saya terpuruk. Saya seperti sedang melakukan pekerjaan yang sia-sia. Tetapi ketika saya akan melakukan bunuh diri itu saya berpikir ; banyak orang yang mati karena bunuh diri dan sia-sia. Itulah yang kemudian saya memaknai sebuah kematian itu harus bukan mati biasa. Dan saya memilih narkoba. Kenapa saya memilih narkoba dan bukan kejahatan yang lainnya? Karena menurut saya inilah kesalahan yang tetap membuat saya akan tetap waras. Dan kenapa di Indonesia? Karena di sini hukuman mati selalu menimbulkan pro-kontra. Jadi alangkah bahagianya saya ketika mendengar bahwa hukuman mati bagi saya akan diberlakukan.

    Begitu-lah alasan saya terjun di bisnis ini. Terlalu naif mungkin tapi itulah kenyataannya. Sepeninggal saya, silakan melihat karya-karya saya yang tersimpan rapi di file-file saya. Terima kasih semuanya. Sampai jumpa.

Tertanda :  Franz Estello Calvin

  
 Surat itu dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam ke dalam saku baju yang dia pakai. Franz kemudian berbaring menunggu waktu yang tersisa. Di pembaringan itu dia teringat kata-kata dari Anton Kurnia, cerpenis idolanya yang berasal dari Indonesia. Kata-kata itu tertera dalam cerpennya yang berjudul Insomnia ; Bukankah dalam hidup ini ada kalanya kita harus melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan?

    Waktu dini hari tiba. Franz telah dijemput. Dia mengenakan seragam yang dipakai untuk eksekusi. Dengan cerdik dia telah menaruh surat yang ditulis semalam di balik bajunya. Kini dia dalam perjalanan ke tempat penembakan. Sejenak bulu halus di kulit Franz meremang. Bukan karena takut tapi karena udara di luar sangat dingin. Dingin itu dia rasakan seperti mampu menembus tulang.

    Ketika sampai di tempat penembakan, Franz segera disiapkan di areanya. Tangannya tetap terborgol. Wajahnya mulai ditutup. Tak lama kemudian terdengar suara aba-aba. Sebelas sniper telah siap membidikkan senapannya. Sedetik kemudian suara tembakan terdengar memecah kesunyian. Franz roboh. Dan sunyi berlanjut.

    Entah apa yang terjadi sehingga sebelum penembakan itu Franz tidak menyerahkan suratnya. Mungkinkah dia lupa atau tidak diberikannya kesempatan? Jika memang dikarenakan tidak diberikannya kesempatan untuk melakukannya, Franz pasti sangat kecewa dan sakit hati. Sakit yang dia rasakan untuk kesekian kalinya. Sakit yang mungkin melebihi rasa sakit sebelum-sebelumnya. Bisa saja lebih sakit dari rasa sakit ketika dulu ketika berulangkali karyanya ditolak media atau bahkan mungkin lebih sakit dari rasa sakit ketika tadi peluru itu menembus badannya.

    Saat jenazah Franz sedang dibersihkan, sebelum akhirnya akan dikembalikan kepada keluarganya, seorang petugas pembersih jenazah menemukan kertas yang terlipat rapi di balik bajunya. Mungkin kertas itu adalah surat yang ditulis Franz semalam. Keadaan kertas itu sedikit rusak karena terkena peluru dan kotor oleh leleran darah. Karena penasaran, petugas pembersih jenazah itu membuka lipatannya ingin mengetahui isinya. Pikirnya, jika hal itu sesuatu yang penting akan dia serahkan kepada yang berwajib. Ketika lipatan kertas terbuka, rupanya benar hal itu sebuah surat. Lalu dia mulai membacanya. Selesai membaca, petugas pembersih jenazah itu langsung merobek-robek kertas itu.

    "Hanya surat begini!" gumamnya masih dengan terus merobek kertas itu menjadi potongan kecil-kecil. Memangnya hanya dia yang ingin jadi penulis tersohor? batinnya.

0 comments:

Post a Comment