Koran Merapi Pembaruan (Minggu, 22/02/2015), Yogyakarta
Link: Facebook Sastra Alit Surakarta.
Senja berlalu. Cahaya jingga yang tadi sempat menerobos lewat
lobang angin-angin penjara kini telah menghilang, berganti sorot sinar
merkuri yang baru saja dinyalakan. Malam ini adalah malam midodareni
bagi sebagian tahanan mati. Kabarnya ada sepuluh tahanan yang akan
dieksekusi dini hari nanti. Dan diantaranya adalah tahanan yang bernama
Franz Estello Calvin.
Saat ini, di ruang selnya yang bernomor
119, sembari menunggu eksekusi tiba, dia mengisi waktu dengan menulis
surat. Meski petugas telah menanyakan apa yang jadi permintaan
terakhirnya namun dia sengaja belum mau mengatakannya. Rencananya, surat
itu-lah permintaan terakhirnya. Dia akan memberikan surat itu kepada
petugas sebelum eksekusi dilakukan. Dia ingin masyarakat tahu siapa jati
dirinya.
Kepada semua orang yang berkenan membacanya, begitu dia mulai menulis suratnya.
Dari sekian tahanan mati kasus narkoba, mungkin hanya saya-lah yang
menerima takdir ini dengan kebahagiaan dan suka cita. Karena bagi saya,
kematian ini akan begitu indah.
Jangan mencurigai dan jangan tersinggung dengan kata-kata saya itu.
Karena saya tidak bermaksud menyakiti perasaan siapa pun. Saya berpikir
begitu semata untuk diri saya sendiri. Saya juga bukan sedang ingin
melakukan pembelaan atas kasus diri saya dan hukuman mati yang saya
terima ini.
Pada intinya ini
tentang cita-cita saya, mungkin bisa dikatakan seperti sebuah obsesi.
Cita-cita ingin menjadi penulis kesohor. Dan aku bilang seperti obsesi
karena usaha untuk menuju terkenal itu ternyata tidak mudah. Dan itulah
yang terjadi pada diri saya dulu.
Saya tidak tahu, apa yang kulakukan ini karena saya iri atau saya
terinspirasi. Ada penyair Indonesia yang bernama Chairil Anwar, dia
berteriak ingin hidup seribu tahun lagi. Rupanya hanya dengan puisi,
cita-citanya itu kesampaian, bahkan namanya mungkin bisa hidup
selamanya. Lalu saya juga berpikir tentang kisah-kisah karya dan
kematian penulis yang lainnya. Dari kisah-kisah itu saya menyimpulkan,
seringkali sebuah karya (apa pun bentuk dan mutunya) akan diberi
penghargaan pada saat si pembuat karya itu mati.
Dari situ, dulu saya pernah akan melakukan bunuh diri, tentu saja
sebelumnya saya sudah siap dengan karya-karya tulisan saya. Pada
kenyataannya saya sudah menulis ribuan judul puisi, ratusan naskah
cerpen, dan tiga belas naskah novel. Sebenarnya beberapa puisi dan
beberapa cerpen saya pernah dimuat di media koran tapi itu belum cukup
mengantarkan nama saya pada keterkenalan. Apalagi belum satu pun novel
saya yang diterima di penerbit.
Kondisi itu sering membuat saya terpuruk. Saya seperti sedang melakukan
pekerjaan yang sia-sia. Tetapi ketika saya akan melakukan bunuh diri itu
saya berpikir ; banyak orang yang mati karena bunuh diri dan sia-sia.
Itulah yang kemudian saya memaknai sebuah kematian itu harus bukan mati
biasa. Dan saya memilih narkoba. Kenapa saya memilih narkoba dan bukan
kejahatan yang lainnya? Karena menurut saya inilah kesalahan yang tetap
membuat saya akan tetap waras. Dan kenapa di Indonesia? Karena di sini
hukuman mati selalu menimbulkan pro-kontra. Jadi alangkah bahagianya
saya ketika mendengar bahwa hukuman mati bagi saya akan diberlakukan.
Begitu-lah alasan saya terjun di bisnis ini. Terlalu naif mungkin tapi
itulah kenyataannya. Sepeninggal saya, silakan melihat karya-karya saya
yang tersimpan rapi di file-file saya. Terima kasih semuanya. Sampai
jumpa.
Tertanda : Franz Estello Calvin
Surat itu
dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam ke dalam saku baju yang dia pakai.
Franz kemudian berbaring menunggu waktu yang tersisa. Di pembaringan itu
dia teringat kata-kata dari Anton Kurnia, cerpenis idolanya yang
berasal dari Indonesia. Kata-kata itu tertera dalam cerpennya yang
berjudul Insomnia ; Bukankah dalam hidup ini ada kalanya kita harus
melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan?
Waktu dini hari
tiba. Franz telah dijemput. Dia mengenakan seragam yang dipakai untuk
eksekusi. Dengan cerdik dia telah menaruh surat yang ditulis semalam di
balik bajunya. Kini dia dalam perjalanan ke tempat penembakan. Sejenak
bulu halus di kulit Franz meremang. Bukan karena takut tapi karena udara
di luar sangat dingin. Dingin itu dia rasakan seperti mampu menembus
tulang.
Ketika sampai di tempat penembakan, Franz segera
disiapkan di areanya. Tangannya tetap terborgol. Wajahnya mulai ditutup.
Tak lama kemudian terdengar suara aba-aba. Sebelas sniper telah siap
membidikkan senapannya. Sedetik kemudian suara tembakan terdengar
memecah kesunyian. Franz roboh. Dan sunyi berlanjut.
Entah
apa yang terjadi sehingga sebelum penembakan itu Franz tidak menyerahkan
suratnya. Mungkinkah dia lupa atau tidak diberikannya kesempatan? Jika
memang dikarenakan tidak diberikannya kesempatan untuk melakukannya,
Franz pasti sangat kecewa dan sakit hati. Sakit yang dia rasakan untuk
kesekian kalinya. Sakit yang mungkin melebihi rasa sakit
sebelum-sebelumnya. Bisa saja lebih sakit dari rasa sakit ketika dulu
ketika berulangkali karyanya ditolak media atau bahkan mungkin lebih
sakit dari rasa sakit ketika tadi peluru itu menembus badannya.
Saat jenazah Franz sedang dibersihkan, sebelum akhirnya akan
dikembalikan kepada keluarganya, seorang petugas pembersih jenazah
menemukan kertas yang terlipat rapi di balik bajunya. Mungkin kertas itu
adalah surat yang ditulis Franz semalam. Keadaan kertas itu sedikit
rusak karena terkena peluru dan kotor oleh leleran darah. Karena
penasaran, petugas pembersih jenazah itu membuka lipatannya ingin
mengetahui isinya. Pikirnya, jika hal itu sesuatu yang penting akan dia
serahkan kepada yang berwajib. Ketika lipatan kertas terbuka, rupanya
benar hal itu sebuah surat. Lalu dia mulai membacanya. Selesai membaca,
petugas pembersih jenazah itu langsung merobek-robek kertas itu.
"Hanya surat begini!" gumamnya masih dengan terus merobek kertas itu menjadi potongan kecil-kecil. Memangnya hanya dia yang ingin jadi penulis tersohor? batinnya.
0 comments:
Post a Comment